Monday, August 19, 2013

SEJARAH KEBATINAN JAWA

Sejarah BUDAYA KEBATINAN
Pada tanggal 19 dan 20 Agustus 1955 di Semarang telah diadakan kongres dari
berpuluh-puluh budaya kebatinan yang ada di berbagai daerah di jawa dengan
tujuan untuk mempersatukan semua organisasi yang ada pada waktu itu.
Kongres berikutnya yang diadakan pada tanggal 7 Agustus tahun berikutnya di
surakarta sebagai lanjutannya, dihadiri oleh lebih dari 2.000 peserta yang
mewakili 100 organisasi. Pertemuan-pertemuan itu berhasil mendirikan suatu
organisasi bernama Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI) (Badan 1956),
yang kemudian juga menyelenggarakan dua kongres serta seminar mengenai
masalah kebatinan dalam tahun 1959, 1961 dan 1962 (Pakan 1978:98)
Kebanyakan budaya kebatinan di Jawa awalnya merupakan budaya lokal saja
dengan anggota yang terbatas jumlahnya, yakni tidak lebih dari 200 orang.
budaya seperti itu secara resmi merupakan “aliran kecil”, seperti
Penunggalan, perukunan kawula manembah gusti, jiwa ayu dan pancasila
handayaningratan dari Surakarta; ilmu kebatinan kasunyatan dari yogyakarta;
ilmu sejati dari madiun; dan trimurti naluri majapahit dari mojokerto dll
Sebagian kecil dari budaya kebatinan ini biasanya mempunyai anggota tak
lebih dari 200 orang namun ada yang beranggotakan lebih dari 1000 orang yang
tersebar di berbagai kota di jawa dan terorganisasi dalam cabang-cabang. dan
lima yang besar adalah hardapusara dari purworejo, susila budi darma
(SUBUD) yang asalnya berkembang di semarang, paguyuban ngesti tunggal
(pangestu) dari surakarta, paguyuban sumarah dan sapta dari yogyakarta.
Hardapusara adalah yang tertua diantara kelima gerakan yang terbesar itu,
yang dalam tahun 1895 didirikan oleh Kyai Kusumawicitra, seorang petani desa
kemanukan dekat purworejo. Ia konon menapatkan ilmu dari menerima wangsit
dan ajaran-ajarannya semula disebut kawruh kasunyatan gaib. Para
pengikutnya mula-mula adalah seorang priyayi dari Purworejo dan beberapa
kota lain di daerah bagelan. organisasi ini dahulu pernah berkembang dan
mempunyai cabang-cabangnya di berbagai kota di Jawa Tengah, Jawa timur,
dan juga Jakarta. Jumlah anggotanya konon sudah mencapai beberpa ribu
orang. Ajaran-ajarannya termaktub dalam dua buah buku ynag oleh para
pngikutnya sudah hampir dianggap keramat, yaitu Buku Kawula Gusti dan
Wigati.
Susila budi (SUBUD) didirikan pada tahun 1925 di semarang, pusatnya sekarang
berada di jakarta. budaya ini tidak mau disebut budaya kebatinan, melainkan
menamakan dirinya “pusat latihan kejiwaan”. Anggota-anggotanya yangberjumlah beberapa ribu itu tersebar di berbagai kota diseluruh indonesia dan
mempunyai sebanyak 87 cabang di luar negeri. Banyak dari para pengikutnya
adalah orang asia, eropa, australia dan amerika. Doktrin ajaran organisasi itu
dimuat dalam buku berjudul susila budhi dharma; kecuali itu gerakanan itu
juga menerbitkan majalah berkala berjudul pewarta kejiwaan subud.
Pagguyuban ngesti tunggal, atau lebih terkenal dengan nama pangestu adalah
sebuah budaya kebatinan lain yang luas jangkauannya. Gerakan ini didirikan
oleh Soenarto, yang di antara tahun 1932 dan 1933 menerima wangsit yang oleh
kedua orang pengikutnya dicatat dan kemudian diterbitkan menjadi buku
sasangka djati.
Pangestu didirikan di surakarta pada bulan mei 1949, dan anggota-anggotanya
yang kini sudah berjumlah 50.000 orang tersebar di banyak kota di Jawa,
terutama berasal dari kalangan priyayi. Namun anggota yang berasal dari
daerah pedesaan juga banyak yaitu yang tinggal di pemukiman transmigrasi di
sumatera dan kalimantan. Majalah yang dikeluarkan organisasi itu dwijawara
merupakan tali pengikat bagi para anggotanya yang tersebar itu.
Paguyuban sumarah juga merupakan organisasi besar yang dimulai sabagai
suatu gerakan kecil, dengan pemimpinnya bernama R. Ng. Sukirno Hartono dari
Yogyakarta. Ia mengaku menerima wahyu pada tahun 1935. Pada kahir tahun
1940an gerakan itu mulai mundur, namun berkembang kembali tahun 1950 di
yogyakarta. Jumlah anggotanya kini sudah mencapai 115.000 orang baik yang
berasal dari golongan priyayi maupun dari kelas-kelas masyarakat lain.
Sapta darma adalah yang termuda dari kelima gerakan kebatinan yang
terbesar di jawa yang didirikan tahun 1955 oleh guru agama bernama
Hardjosaputro yang kemudian mengganti namanya menjadi Panuntun Sri
Gutomo. Beliau berasal dari desa keplakan dekat pare. Berbeda dengan
keempat organisasi yang lain, sapta darma beranggotakan orang-orang dari
daerah pedesaan dan orang-orang pekerja kasar yang tinggal di kota-kota.
Walaupun demikian para pemimpinnya hampir semua priyayi. Buku yang berisi
ajarannya adalah kitab pewarah sapta darma.
Walaupun budaya kebatinan ada di seluruh daerah di jawa, namun surakarta
sebagai pusat kebudayaan jawa agaknya masih merupakan tempat dimana
terdapat paling banyak organisasi kebatinan yang terpenting. Dalam tahun 1970
ada 13 organisasi kebatinan di sana; lima diantaranya dengan anggota sebanyak
antara 30-70 orabg, tetapi ada satu yang anggotanya sekitar 500 orang dalam
tahun 1970. Sepuluh lainnya adalah organisasi-organisasi yang besar, yang berpusat
dikota-kota lain seperti Jakarta, Yogyakarta, Madiun, Kediri dan
sebagainya (jong 1973: 10-12)
S. de jong yang mempelajari budaya kebatinan Jawa di jawa tengah,
melaporkan bahwa dalam propinsi jawa tengah saja tercatat sebanyak 286
organisasi kebetinan dalam tahun 1870, dengan kemungkinan bahwa masih ada
organisasi-organisasi kecil lainnya yang tidak terdaftar di sana.
Pengikut-pengikut terkemuka dari budaya kebatinan, yang diantaranya ada
yang berlatar belakang pendidikan psikologi, biasanya menjelaskan bahwa
timbulnya berbagai budaya itu disebabkan karena sebagian besar orang jawa
butuh mencari hakekat alam semesta, intisari kehidupan dan hakekat Tuhan.
Ahli sosiolagi Selo Soemardjan berpendirian bahwa orang jawa pada umumnya
cenderung untuk mencari keselarasan dengan lingkungan dan hati nuraninya,
yang sering dilakukannya dengan sara-sara metafisik.

No comments:

Post a Comment