Wednesday, May 27, 2015

UPACARA RUWATAN

Upacara Ruwat di Jawa



disusun oleh Koentjaraningrat.

1. PENDAHULUAN
Beberapa sarjana Barat seperti J.A. Niels Mulder berpendapat bahwa bangsa Indonesia, khususnya suku bangsa Jawa mempunyai sifat seremonial. Hampir pada tiap peristiwa yang dianggap penting, baik yang menyangkut segi kehidupan seseorang, baik yang bersifat keagamaan atau kepercayaan, maupun yang mengenai usaha seseorang dalam mencari penghidupan, pelaksanaanya selalu disertai upacara.
Dalam perjalanan hidup seseorang, mulai dari dalam kandungan ibunya sampai pada waktu ia meninggal dunia, pada saat-saat tertentu orang akan mengadakan berbagai upacara yang diperuntukan baginya, seperti upacara tingkeban, kelahiran, selapanan, tedak sinten,khitanan, perlawinan, kematian, dan lain-lain. Di dalam antropologi upacara-upacara semacam itu lazim disebut ritus peralihan. Dalam bulan-bulan tertentu orang mengadakan upacara yang bersifat keagamaan, misalnya ruwahan, selikuran , lebaran, sawalan, besaran, suran, saparan, muludan dan lain-lain. Sedangkan di dalam mencari penghidupan, terutama bagi golongan petani, dikenal upacara-upacara yang bersangkutan dengan bercocok tanam, seperti upacara wiwit, tandur, entas-entas, methik, bersih desa dan lain-lain.
Disamping berbagai upacara tersebut, ada lagi jenis upacara yang sedikit banyak berhubungan dengan kepercayaan, yang sumbernya berasal dari jaman sebelum agama Islam mempengaruhi kehidupan kebudayaan orang Jawa, terutama pada waktu lampau, ialah upacara ruwat atau disebut Ruwatan.
Ruwat dalam bahasa Jawa sama dengan kata luwar, berarti lepas atau terlepas. Diruwat artinya dilepaskan atau dibebaskan. Pelaksanaan upacara itu disebut ngruwat atau ruwatan, berarti melepaskan atau membebaskan, ialah membebaskan atau melepaskan dari hukuman atau kutukan dewa yang menimbulkan bahaya, malapetaka atau keadaan yang menyedihkan. Ngruwat dapat juga berarti dipulihkan atau dikembalikan pada keadaan semula, tetapi juga menolak bencana yang diyakini akan menimpa pada diri seseorang, mentawarkan atau menetralisir kekuatan gaib yang akan membahayakan.
Upacara ruwat yang biasa dilakukan orang hingga sekarang termasuk dalam arti yang kedua, yaitu suatu upacara yang diadakan sebagai sarana yang dijalankan oleh seseorang supaya dapat terhindar dari marabahaya yang diramalkan akan menimpa diri seseorang.
Dipandang dari sudut pembiayaannya, upacara ruwat termasuk upacara besar, yang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Namun orang yang percaya tidak segan-segan mengeluarkan anggaran yang besar untuk memperoleh keselamatan dan kebahagiaan. Maka untuk menadakan upacara ruwat diperlukan rencana dan persiapan lebih dahulu, dan hal itu biasanya memakan waktu yang cukup panjang pula.
Dewasa ini di kalangan masyarakat kota upacara semacam itu sudah jarang dilakukan lagi, akan tetapi di desa-desa, terutama di pelosok, adat itu masih banyak dilakukan. Masyarakat masih yakin adanya bahaya yang selalu mengancam, selama upacara itu belum diselenggarakan.
Di muka telah diterangkan, bahwa di kota-kota sudah jarang terdapat upacara ruwat. Kalau toh ada, mereka yang menyelenggarakan itu adalah orang-orang yang masih taat akan adat istiadat nenek moyang mereka yang dipegang teguh sejak dulu. Golongan orang semacam itu tidak hanya terbatas pada orang kebanyakan, tetapi diantaranya terdapat pula sarjana atau cendekiawan dan pejabat tinggi.


2. UNTUK APA ORANG MENGADAKAN RUWATAN
Menurut keyakinan orang Jawa banyak sekali hal atau peristiwa yang akan dapat mendatangkan malapetaka, apabila orang tidak menghiraukan dan berikhtiar secara khusus. Maka supaya terhindar dari bencana yang setiap saat dapat terjadi, diperlukan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Syarat itu ialah kewajiban orang untuk mengadakan upacara ruwat.
Hal-hal yang dianggap memerlukan upacara itu paling sedikit dapat digolongkan dalam tiga jenis, yaitu :
1. Upacara ruwat bagi orang atau anak yang dianggap mempunyai nasib buruk, karena disebabkan kelahirannya.
2. Upacara ruwat bagi orang atau anak yang cacat tubuhnya.
3. Upacara ruwat bagi orang yang dianggap bersalah, karena telah melanggar pantangan atau merusak benda-benda tertentu.

Upacara ruwat bagi anak yang benasib buruk. Dasar dari adanya upacara ini ialah, karena adanya suatu keyakinan bahwa seorang anak atau beberapa orang dari satu keluarga itu dapat dipastikan bernasib buruk, karena sifat kelahirannya. Anak-anak semacam itu di dalam bahasa Jawa disebut bocah sukerta. Kata sukerta berasal dari kata suker yang artinya kotor, dalam keadaan tidak bersih atau berdosa. Mereka juga dikatakan lahir salah, dalam bahasa Jawa dikatakan salah kedaden. Mereka itulah yang memperoleh hukuman terkena kutuk. Cepat atau lambat mereka akan mengalamai nasib buruk tertimpa bahaya maut. Dalam keyakinan orang Jawa, mereka itu dinasibkan akan menjadi umpan dewa Kala. Mereka hanya dapat terlepas, keluar dari bencana, apabila untuk mereka diadakan upacara ruwat, sesuai dengan ketentuan yang ada sejak dulu.
Siapa saja yang termasuk dalam golongan anak sukerta itu, daerah satu dan lainya ada perbedaan, baik mengenai istilah maupun dalam jumlahnya. Misalnya di daerah Wanasaba ada enam macam anak sukerta, di Bagelen ada sembilan macam, di dalam Serat Pedalangan Ringgit Purwa, karangan Mangkunegoro VII disebutkan 14 macam, di dalam Pakem Pangruwatan Murwakala karangan Ki Demang Reditanoyo disebutkan 60 macam, sedang R. Ng. Ronggowarsito dalam karangan Serat Pustaka Raja Purwa menerangkan ada 136 macam anak sukerta.
Menurut Serat Pedalangan Ringgit Purwa kombinasi anak dalam satu keluarga yang termasuk golongan anak sukerta adalah :
1. Anak ontang-anting ialah anak tunggal pria.
2. Anak unting-unting ialah anak tunggal wanita.
3. Anak lumunting ialah anak ketika lahir tanpa tembuni.
4. Anak sarimpi ialah anak empat bersaudara perempuan.
5. Anak saramba ialah anak empat beraudara pria.
6. Anak pandhawa ialah anak lima bersaudara pria.
7. Anak pandhawi ialah anak lima bersaudara wanita.
8. Anak pandhawa madangake ialah anak empat bersaudara pria, seorang pria.
9. Anak pandhawa ipil-ipil ialah anak lima bersaudara, empat orang pria, seorang wanita.
10. Anak uger-uger ialah dua orang bersaudara pria.
11. Anak kembang sepasang ialah dua orang bersaudara wanita.
12. Anak gendhana-gendhini ialah dua orang bersaudara, pria dan wanita.
13. Anak sendhang kaapit ialah tiga orang bersaudara, pria, wanita, pria.
14. Anak pancuran kaapit ialah tiga orang bersaudara, wanita, pria, wanita.

Anak-anak cacad badan adalah, misalnya :
1. Anak bule, anak balar atau bulai.
2. Anak wungkuk ialah anak bongkok.
3. Anak kresna atau cemani ialah anak berkulit hitam.
4. Anak wijil ialah anak kerdil.
5. Anak dhengkak ialah anak berdada ke depan.

Orang yang merusak barang tertentu adalah kecuali anak atau orang yang telah disebutkan si atas, juga golongan orang yang dianggap bernasib malang, tidak berbeda dengan anak-anak sukerta itu, kerena merekapun akan tertimpa bencana pula. Mereka termasuk orang yang karena keteledorannya melanggar pantangan, merusakan barang-barang tertentu, seperti:
1. Menggulingkan dandang (tempat menanak nasi).
2. Mematahkan gandhik (alat batu berbentuk silinder, yang digunakan untuk menggilas ramuan obat-obatan).
3. Memecahkan pipisan (alat batu berbentuk segi empat yang digunakan sebagai tempat untuk menghaluskan ramuan obat-obatan).

Supaya mereka terhindar dari nasip yang buruk, mereka harus diruwat pula. Dewasa ini upacara ruwat bagi orang-orang semacam itu sudah jarang sekali ditemui. Hal ini disebabkan karena keyakinan orang terhadap pantangan-pantanagan itu sudah menipis, juga kemungkinan pelanggaran pantangan semacam itu semakin langka, karena alat-alat seperti pipisan dan gandhik sekarang sudah bukan merupakan alat untuk keperluan sehari-hari.


3. CERITA TENTANG TERJADINYA UPACARA RUWAT
Kepercayaan tentang datangnya malapetaka yang akan menimpa anak sukerta dan orang-orang yang bernasib sial lainnya itu pada dasarnya berasal dari keyakinan akan sebuah cerita lama, yaitu dari sebuah cerita wayang purwa, yang disebut Murwakala atau Purwakala. Purwa berarti asal atau permulaan, kala berarti bencana, jadi asal mula dari bencana. Di daerah lain lakon itu disebut Dhalangkarungrungan atau Dhalang Kalunglungan. Pada dasarnya cerita itu mengisahkan asal dari lahirnya dewa raksasa bernama Kala dan mengenai kehidupannya selanjutnya. Cerita itu di daerah satu dengan lainnya ada berbagai variasi, meskipun tidak prinsipial, karena pada dasarnya berasal dari sumber yang sama.
Menurut Pakem Pedhalangan, dalam garis besarnya cerita itu adalah sebagai berikut :
“Pada suatu ketika Dewa Siwa bercengkerama dengan permaisurinya yang sangat cantik, yaitu Dewi Uma. Mereka terbang di atas samudra dengan naik lembu tunggangannya bernama Lembu Andhini. Di atas samudra itu Siwa melihat permaisurinya sangat menggairahkan, sehingga timbul hasratnya untuk bersatu rasa. Akan tetapi Dewi Uma tidak berkenan di hati, maka benih Siwa jatuh di tengah lautan.
Setelah masanya benih itu berubah menjadi makhluk, kian lamz kian besar, akhirnya menjadi seorang raksasa yang besar dan sakti. Ia naik ke Suralaya, tempat bersemayamnya para dewa, bermaksud untuk menemui Siwa. Setelah sampai di tempat yang di tuju dan bertemu Siwa ia bertanya siapakah yang menurunkannya dan ia minta agar ditunjukkan manusia-manusia yang bagaimanakah yang diperkenankan untuk menjadi mangsanya. Dewa Siwa mengakui bahwa ia adalah putra Siwa sendiri, dan diberi nama Batara Kala. Untuk makannya Siwa menyebutkan macam-macam manusia yang termasuk anak sukerta.
Maka Dewa Kala minta ijin turun ke dunia untuk mencari mangsa, yaitu manusia-manusia yang telah ditentukan diperuntukkan baginya. Ia menuju ke Danau Madirda. Sepeninggal Dewa Kala, Siwa sadar, bahwa jumlah manusia yang disebutkan tadi terlalu banyak, sehingga apabila tidak dihalangi mungkin manusia akan punah dari muka bumi. Dewa Siwa tidak sampai hati hal itu akan terjadi. Ia memerintahkan kepada Dewa Narada agar menugaskan Dewa Wisnu untuk menjadi dhalang membatalkan perintah yang telah diberikan kepada Dewa Kala. Dewa Narada ditugaskan untuk menjadi panjak (penyanyi), Dewa Brahma menjadi penabuh gender (macam gamelan). Maka ketiga dewa turun ke bumi. Dewa Wisnu yang kemudian berganti nama Dhalang Kandabuana bertugas meruwat manusia-manusia sukerta yang ditakdirkan menjadi umpan Dewa Kala. Dengan demikian mereka dapat diselamatkan.
Diceritakan pula, bahwa pada waktu itu ada seorang janda di desa Mendangkawit, bernama Sumawit. Ia mempunyai anak laki-laki menjelang remaja bernama Joko Jatusmati. Karena ia anak tunggal, agar supaya selamat ia disuruh ibunya pergi mandi di Danau Madirda. Patuh kepada perintah ia menuju danau yang ditunjuk ibunya. Setelah sampai di danau itu ia berjumpa dengan Dewa Kala yang minta kesediaan pemuda itu untuk dimakan, karena ia termasuk manusia yang menjadi mangsanya.
Sadar akan bahaya yang mengancamnya Jaka Jatusmati segera melarikan diri sedangkan Dewa Kala mengejar kemana saja dia pergi. Ia bersembunyi di antara orang-orang yang sedang mendirikan rumah. Tetapi akhirnya ditemukan oleh Dewa Kala, maka kejar-kejaran terjadi di tempat pembanguan rumah itu, sehingga akhirnya rumah itu roboh. Pemuda itu kemudian bersembunyi di tempat orang yang sedang membuat jamu (obat) yang menggunakan pipisan. Di sinipun diketahui oleh Dewa Kala, dalam usahanya untuk menghindarkan diri ia terantuk pada pipisan sehingga benda itu patah. Selanjutnya ia bersembunyi di dalam dapur yang kebetulan sedang dipakai untuk menanak nasi. Di sinipun terjadi kejar-kejaran pula, sehingga menyebabkan dandang (tempat untuk menanak nasi) roboh. Jaka Jatusmati melarikan diri keluar dari dapur melalui halaman depan rumah. Di dalam usahanya mengejar pemuda itu di tengah halaman Dewa Kala terjatuh, karena terlilit oleh batang waluh (cucurbita pepo) yang kebetulan ditanam di halaman itu. Sehingga ia kehilangan arah ke mana mangsanya melarikan diri.
Di desa Medangkamulan terdapat seorang laki-laki bernama Buyut Wangkeng. Ia mempunyai anak tunggal bernama Rara Pripih yang baru saja dikawinkan. Akn tetapi kedua suami istri itu belum rukun, bahkan sang istri minta kepada ayahnya agar diceraikan dari suaminya. Maksudnya tidak disetujui oleh ayahnya. Akhirnya ia membatalkan niatnya setelah ayahnya mengabulkan permintaannya untuk mengadakan ruwat dengan mengadakan pertunjukan wayang. Buyut Wangkeng segera menyuruh menantunya mencarikan dalang yang bersedia mempergelarkan pertunjukkan wayang untuk meruwat anaknya. Maka dipanggilah Dhalang Kandhabuana.(Dalam upacara ruwat, nama desa Medangkamulan diganti dengan desa tempat tinggal oarang yang mengadakan upacara ruwat, Buyut Wangkeng dengan nama orang yang meruwat dan Rara Pripih dengan nama anak yang sedang diruwat.).
Pada waktu yang telah ditetapkan pagelaran wayang terus dimulai, banyak sekali orang yang melihat. Di antara penonton itu terdapat pula Jaka Jatusmati, demikian pula Dewa Kala. Di dalam pagelaran wayang Dhalang Kandhabuana mengucapkan bermacam-macam mantera dan membaca tulisan-tulisan yang terdapat dalm tubuh Dewa Kala. Akhirnya Dhalang Kandhabuana sebagai penjelmaan Dewa Wisnu dapat menyelesaikan tugasnya, menghalang-halangi Dewa Kala dalam hal mengejar-ngejar manusia yang menjadi mangsanya. Bahkan Dewa Kala dapat dihalau kembali ke tempatnya semula. Demikian pula anak buah dan pengikutnya, seperti kalabang, kala jengking dan lain-lainnya dapat dimusnahkan dengan mengucapkan mantera-mantera tertentu. Setelah itu bumi menjadi damai dan aman kembali.
Pada waktu hendak kembali ke tempat asalnya baik Dewa Kala, Durga dan lain-lain minta bagian dari sajian yang telah disediakan. Dewa Kala minta batang pisang, entog, itik, dan burung merpati. Durga minta kain Sindur dan Bangun Tulak. Kecuali itu tokoh lain seperti Dewi Sri dan Sadana, Kebo Gedeg dan Kebo Geleg dan lain-lain (mereka bukan tokoh jahat) minta bagian pula. Mereka berperan dan memberi petuah supaya mereka yang diruwat memperoleh keselamatan.
Dengan demikian maka sebagai unsur pokok di dalam upacara ruwatan selanjutnya, disamping orang yang menyediakan sajen (sajian) dan syarat lainnya yang harus dipenuhi, orang harus mengadakan upacara pagelaran wayang purwa, dengan cerita khusus Murwakala, cerita riwayat kehidupan Dewa Kala.

4. BERBAGAI CARA MENYELENGGARAKAN RUWATAN
Di muka telah diutarakan, bahwa upacara ruwat termasuk upacara besar, hampir seperti upacara khitanan dan perkawinan. Penyelenggaraannya membutuhkan biaya yang besar pula. Apabila demikian maka hanya orang-orang yang berada sajalah yang mampu menyelenggarakan upacara semacam itu, tetapi dalam hal itu kenyataannya lain. Karena pada hakekatnya ada upacara ruwat yang bentuknya lebih sederhana dan biayanya pun tidak terlalu besar, sehingga penyelenggaraannya dapat terjangkau oleh mereka yang kurang mampu. Maka dalam kenyataannya ada tiga macam cara untuk mengadakan upacara ruwat yaitu: Upacara ruwat bagi mereka yang mampu biasanya dengan mengadakan pagelaran wayang purwa, Upacara ruwat bagi mereka yang kurang mampu, Upacara ruwat bagi mereka pemeluk Islam yang kuat, tetapi masih belum dapat melepaskan adat nenek moyang.

Jalannyan Upacara Ruwat dengan Pementasan Wayang. Pada umumnya orang yang mengadakan ruwatan kurang mengetahui sendiri seluk-beluk upacara itu. Sebagai orang awam mereka kurang begitu paham barang-barang apakah dan syarat-syarat apakah yang harus disediakan dan kapankah hal itu sebaiknya diselenggarakan. Maka dari itu mereka hanya mengiyakan saja apa yang dikatakan oleh sang dalang dan menyediakan segala perlengkapan dan barang-barang yang dimintanya.
Dalam upacara ruwat, sajian (sajen) merupakan syarat yang penting. Padahal jumlahnya sangat banyak bila dibandingkan dengan sajian pada pagelaran wayang kulit biasa, bahkan ada kalanya beberapa dari barang-barang itu sekarang sekarang ini sudah langka didapat, sehingga orang susah mencarinya. Meskipun demikian orang tetap diwajibkan menyediakannya dengan lengkap, tidak boleh terlupakan sebuahpun. Menurut pakem Murwakala jenis barang sajen itu jumlahnya tidak kurang dari 38 macam, ialah :
1. Tuwuhan, yaitu pisang dengan buahnya, cengkir (kelapa yang masih muda), janur (daun kelapa muda), pohon tebu masing-masing dua pasang dan dipajangkan di kanan dan kiri kelir (layar atau tabir untuk mempergelarkan wayang).
2. Padi segedheng, empat ikat padi sebelah menyebelah.
3. Cikal, sebuah kelapa yang bertunas sebelah menyebelah.
4. Sebatang tebu sebelah menyebelah.
5. Dua ekor ayam, jantan dan betina.
6. Empat batang kayu Walikukun masing-masing kira-kira sehasta.
7. Ungker siji, satu penggulung benang.
8. Empat buah ketupat luwar (bebas, terlepas).
9. Selembar tikar.
10. Sebuah bantal baru.
11. Sebuah sisir.
12. Sebuah suri (sisir yang bergigi rapat untuk mencari kutu).
13. Sebuah cermin.
14. Sebuah payung.
15. Minyak wangi.
16. Tujuh macam kain batik dengan tujuh motif hiasan ialah; poleng, bang sedodol,luwuh watu, dringin songer,lawatan, gadhung mlati, pandhang binetot, kembang teloken.
17. Daun lontar satu genggam.
18. Dua buah pisau baja.
19. Dua butir telur ayam.
20. Gedhang ayu, pisang yang sudah masak, biasanya pisang pulut atau pisang raja, suruh ayu dengan perlengkapannya, krambil grondhil (kelapa tanpa sabut), gula setangkep, beras sepitrah, ayam panggang tindhih selawe uang (uang yang diletakkan di atas sajen, 25 uang).
21. Air tujuh macam, yang diambil dari tujuh tempat atau sumber.
22. Seikat lawe (benang bahan tenun)
23. Minyak kelapa untuk blencong (lampu khusus untuk penerangan dalam pertunjukkan wayang kulit).
24. Nasi gurih dan daging ayam yang dimasak dengan santan.
25. Satu guci badheg (arak yang dibuat dari kilang enau).
26. Satu guci tetes (dibuat dari kilang tebu).
27. Tujuh macam nasi tumpeng (nasi dibentuk kuncup).
28. Tujuh macam jadah (kue Jawa dibuat dari beras ketan).
29. Jajan pasar (makanan berupa kue-kue yang dibeli di pasar).
30. Kupat lepet.
31. Legendah.
32. Pula gimbal, pula gringsing.
33. Jenang abang, jenang bawok, jenang lemu (macam jenang)
34. Gecok mentah, gecok bakal, gecok lele urip.
35. Rujak legi, rujak crobo.
36. Dandang dan perkakas masak lengkap.
37. Kendil berisi air penuh.
38. Pelita baru yang dinyalakan.

Berbeda upacara pementasan wayng kulit pada umumnya, yang biasanya dilakukan pada malam hari dan berlangsung hingga semalam suntuk, maka pementasan wayang pada upacara ruwat biasanya diadakan pada siang hari dan hanya makan waktu kira-kira tiga sampai empat jam saja. Cerita yang dipentaskan harus cerita Murwakala, sedangkan meskipun dilaksanakan pada siang hari, dalam pementasan wayang ruwatan, blencong harus tetap dinyalakan.
Lakon Murwakala seperti lakon Bratajuda, dianggap sebagai lakon yang keramat. Dengan demikian tidak setiap orang berani mementaskan dan tidak sembarang dalang mau memainkannya.
Terutama dalam upacara ruwat dalang yang dipercaya untuk melakukan harus seorang dalang yang telah cukup tua dan sedapat mungkin seorang dalang yang turun temurun keturunan dalang pula. Dikatakan bahwa sebelum menjalankan tugasnya dalang ini harus membersihkan diri dulu dengan berpuasa. Ada kalanya ia pergi ke tempat-tempat keramat (pundhen) yang dihormati agar dapat menjalankan tugasnya dengan selamat. Itupun apabila ada kekurangan baik mengenai sajen maupun kekhilafan dalang, hal itu akan mendatangkan resiko. Kegawatan dari pementasan wayang dalam ruwatan itu diterangkan oleh seorang dalang Kraton Kasunanan Surakarta, bahwa ada seorang rekannya setelah selesai menjalankan pementasan wayang untuk upacara ruwatan meninggal, setelah diteliti ada kekurangan dalam mempersiapkan sajian dalam upacara itu.
Upacara ruwatan dimulai dengan cara memandikan anak yang diruwat itu, pada pagi hari kira-kira jam 09.00 yang harus ditangani sendiri oleh ibu dari anak yang bersangkutan. Air yang digunakan adalah air setaman, atau air yang dibarui bunga-bunga yang harum. Selesai dimandikan anak itu diberi pakaian yang indah, kemudian dengan diantar oleh dalang dan neneknya dihadapkan kedua orang tuanya untuk bersujud. Selanjutnya upacara dilanjutkan dengan selamatan dan doa yang dilakukan oleh dalang, dan yang dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat tuan rumah.
Anak beserta orang tua dan neneknya dipersilakan duduk di dekat dalang. Demikian pula sajiannya, setelah diteliti oleh dalang diletakkan di atas meja yang telah disediakan sebelumnya. Sebelum gamelan mulai dipukul, dalang menyerahkan lima potong batang tebu wulung, 21 kuntum kembang melati dan sebuah tunas kelapa (cikal) kepada keluarga anak dan sebagai gantinya ia minta baju dalam dari si anak yang bersangkutan.
Sesudah upacara selesai, dalang mulai dengan mementaskan dengan membawakan lakon Murwakala yang diselesaikan kira-kira tiga jam. Pada waktu hampir berakhir, dalang menghentikan permainan sejenak, untuk melakukan upacara srah-srahan (serah terima) dan potong rambut. Anak yang diruwat diantar oleh kedua orang tuanya dengan membawa sebuah gunting dan sehelai sapu tangan menghadap dalang. Mereka menyampaikan hajatnya kepada dalang dan memintanya agar dalang meruwat anak mereka. Dalang menerima anak itu dan dipangkunya dan sekali lagi menyuruh anak itu bersujud pada ayah ibunya. Setelah selesai ibunya memotong seberkas kecil rambut anaknya dengan gunting dan ditaruh di dalam sapu tangan, kemudian diserahkan dalang. Maka pementasan wayang yang hampir selesai tu dilanjutkan kembali. Setelah pertunjukkan berakhir orang tua beserta anaknya menghadap dalang untuk mengucapkan terima kasih. Sedangkan dalang menyerahkan kembali potongan rambut dan pakaian dalam si anak kepada ibunya. (Cara ini dilakukan oleh Ki Nartosabdo)
Biasanya karena penyelenggaraan pertunjukkan wayang kulit untuk ruwatan itu berlangsung pada siang hari, dan hanya memakan waktu kurang lebih tiga jam saja, maka pada sore harinya pertunjukkan wayang dilanjutkan lagi tetapi sekarang semalam suntuk, sambil kekuarga dan kerabat dekat anak yang diruwat mengadakan tirakatan. Lakon yang diambil dalm pementasan itu tidak tentu, akan tetapi biasanya dipilih cerita yang mengandung makna bagi kelangsungan hidup anak yang baru diruwat itu.

Upacara Ruwat Bagi Orang Yang Kurang Mampu. Pada dasarnya pelaksanaan upacara ruwat bagi orang yang kurang mampu tidak berbeda dengan upacara ruwat lengkap, sepertiterurai di atas. Hanya bersifat lebih sederhana, dengan demikian biaya yang dikeluarkan tidak begitu besar. Adapun mengenai unsur-unsur sajian yang diperlukan di dalm upacara itu tetap sama seperti upacara lengkap. Perbedaannya hanya terletak pada pementasan wayangnya..
Di atas telah diutarakan, bahwa pementasan wayang merupakan unsur pokok dalam upacara ruwatan. Untuk keperluan itu orang harus menyediakan biaya yang tidak sedikit, terutama apabila orang mendatangkan dalng terkenal. Maka bagi orang yang kurang mampu dimungkinkan untuk mengadakan upacara ruwat, hanya dengan mengundang dalngnya saja, tanpa membawa wayang dan gamelan. Di dalam upacara itu dalng hanya bertugas sekedar bercerita saja mengenai riwayat Dewa Kala seperti yang terdapat dalam Murwakala. Sesudah bercerita maka diadakanlah upacara pengguntingan rambut anak yabf diruwat dan selesailah upacaranya.

Upacara Ruwat Bagi Pemeluk Agama Islam Yang Ketat. Perbedaan mendasar tidak terletak pada unsur pokoknya saja, tetapi juga jenis sajian yang dipersiapkan. Unsur pokok pada upacara ruwat ini bukan pagelaran wayang kulit, melainkan pembacaan kitab Qur’an sampai khatam, yaitu selesainya hingga 30 jus. Pelaksanaannya dilakukan pada setiap malam hari dan selesainya tergantung dri jumlah orang yang membacanya. Kalau orangnya banyak maka dapat selesai dalam dua atau tiga malam, tetapi adapula kasus yang baru bisa selesai setelah tujuh malam.
Malam pembacaan terakhir merupakan puncak dari upacara. Pada malam itu diadakan sedekah dan sajian yang disediakan antara lain :
1. Air setaman dalam belanga.
2. Pisang raja setangkep (dua sisir)
3. Sekul wuduk (nasi gurih).
4. Ingkung ayam (daging ayam yang telah dimasak).
5. Jajan pasar (macam-macam kue yang dibeli dipasar).
6. Sekul golong (nasi yang dibentuk setengah bulatan)
7. Sekul tumpeng (nasi yang dibentuk kerucut).
8. Lauk pauk gudhangan (macam-macam sayur yang direbus dan diberi sambal kelapa).
9. Rujak-rujakan (macam-macam buah seperti mangga muda, mentimun, nanas, dan lain-lain yang dipotong-potong dimakan dengan sambal.
10. Kue terdiri dari kue apem (kue yang dibuat dari beras ketan), dan kolak.

Setelah selesai sedekahan, upacara dilanjutkan dengan pengguntingan rambut dan memandikan anak yang diruwat. Dalam upacara mandi, anak disiram berganti-ganti oleh kerabat dari keluarga itu yang dianggap tua, sedangkan air yang dipakai untuk memandikan adalah air setaman yang telah disediakann sebagai sajian tadi. Pada waktu menyiramkan air setaman, mereka mengucapkan “Allahu Akbar’ dan dengan berakhirnya upacara mandi maka selesai pula upacara itu.

5. BEBERAPA PANTANGAN AKIBAT CERITA MURWAKALA
Kecuali pantangan-pantangan yang diwajibkan bagi orang untuk mengadakan upacara ruwat, orang Jawa masih mempunyai keyakinan bahwa ada beberapa hal atau perbuatan lain yang apabila tidak dihindari akan mendatangkan bencana pula. Hal tersebut berhubungan dengan keadaan Dewa Kala dalam cerita Murwakala ketika sedang mengejar mangsanya, seperti :
1. Orang tidak boleh membiarkan bambu yang tidak beruas tinggal utuh (pring wung-wung).
2. Orang tidak boleh menanam pohon waluh di halaman muka rumah.
3. Orang tidak boleh membiarkan rumahnya yang belum selesai dibangun tidak diberi tutup keyong (penutup rumah di samping pada sisih atap).
4. Anak gadis tidak boleh duduk di muka pintu.
5. Orang tidak boleh membuang kutu yang masih hidup.
6. Orang tidak boleh meninggalkan beras dalam lesung.
7. Orang tidak boleh jisim lumampah (berarti jenasah berjalan) ialah orang yang seorang diri bepergian jauh.
8. Orang tidak boleh bathang ucap-ucap (jenasah yang telah busuk berbicara) ialah dua orang bersama bepergian jauh.
9. Orang tidak boleh gotong mayit (mengusung jenasah), tiga orang bersama bepergian jauh.
10. Orang yang membuat rumah supaya menjaga rumah itu tidak mendadak roboh sebelum selesai.

Meskipun pantangan-pantangan itu kalau dilanggar tidak mengharuskan orang untuk mengadakan upacara ruwat, akan tetapi hingga kini masih ada keyakinan bahwa hal-hal semacam itu masih merupakan perbuatan yang patut dihindari.

6. MOTIVASI UNTUK UPACARA RUWAT
Hal–hal yang berhubungan dengan diadakannya upacara ruwat merupakan sesuatu yang tersembunyi dan membuat orang berada dalam situasi yang tidak seimbang. Oleh masyarakat anak yang termasuk dalam golongan sukerta digolongkan menjadi tiga. Golongan pertama dan kedua disebut bocah salah kedaden, jadinya atau lahirnya salah. Maka kesalahan itu agar tidak berakibat buruk bagi yang bersangkutan dan mungkin juga bagi masyarakat, harus diadakan upacara selamatan.
Bagi golongan pertama, selamatan tersebut merupakan semacam upacara krisis, keluarga yang mengadakan itu hidupnya tidak tenang, karena selalu dalam keadaan khawatir. Maka agar dapat tentram dan tenang, terutama agar anak-anak mereaka sehat dan selamat, mereka mengadakan upacara tersebut. Misalnya keluarga yang hanya mempunyai seorang anak (ontang-anting), bukan merupakan keluarga yang ideal. Suami istri tidak tentram karena apabila suatu ketika anaknya meninggal, maka hal itu merupakan bencana besar bagi keluarga itu.
Golongan kedua dianggap pula anak-anak yang sial, karena mempunyai cacat pada tubuhnya. Menurut keyakinan orang Jawa, mereka itu mempunyai kekuatan gaib, orang-orang yang memiliki mana yang besar. Orang dapat mengingat kembali pada jaman para raja dahulu, mereka memelihara orang-orang cacat untuk menambah kekuatan, tetapi bagi keluarga orang biasa kekuatan gaib yang ada pada anak itu dapat pula berakibat buruk atau membahayakan keluarga orang tuannya.
Golongan ketiga dimaksud sebagai usaha untuk menegakkan norma-norma baik norma keagamaan, norma kesusilaan, maupun norma adat sopan santun. Orang Jawa menghendaki tata tertib, sikap berhati-hati, berdisiplin, hemat, sopan santun dan lain-lain.
Dandang dan pipisan pada jaman dahulu merupakan alat yang sangat penting dalm kehidupan rumah tangga sehari-hari, maka barang siapa merusaknya akan mendapat sangsi yang sangat berat. Sangsi itu mengharuskan orang mengadakan upacara selamatan yang memakan biaya sangat besar. Dengan demikian orang selalu berhati-hati dalam menggunakan alat-alat itu.
Pelanggaran-pelanggaran yang lebih ringan, misalnya anak gadis yang duduk di depan pintu, membuang sampah di bawah kolong, menanam waluh di muka halaman, meninggalkan beras di dalam lesung, dan lain-lain, merupakan pelanggaran sopan santun, perbuatan ceroboh, tidak cermat, sehingga sangsinya tidak begitu berat sampai perlu mengadakan upacara ruwat. Di dalam masyarakat Jawa pantangan-pantangan semacam itu hanya mendapat ancaman atau peringatan keras denga kata ora ilok, yang artinya bagi orang kebanyakan tidak diketahui pasti, tetapi telah cukup membuat anak takut dan mengurungkan maksudnya.
Semasa orang Jawa masih percaya dewa-dewa, maka segala sesuatu akan dihubungkan dengan keyakinan itu. Hukuman atau sangsi yang dijatuhkan, merupakan penderitaan atau kesengsaraan, dianggap berasal dari dewa pula, yaitu dari dewa yang mendatangkan malapetaka ialah Dewa Kala.
Pertunjukkan wayang dahulu mendominasi segala macam upacara orang Jawa yang penting. Seperti upacara sepanjang lingkaran hidup seperti kelahiran, khitanan, perkawinan, upacara desa dan lain-lain. Maka upacara ruwat pun tidak ketinggalan dihubungkan dan diselenggarakan dengan mengadakan pertunjukkan wayang. (Wuihh,... wayang buanget ! -Red)

8. MAKNA SAJIAN PADA UPACARA
Sesuai denga pendapat Prof. Dr. J. Van Baal dalam bukunya Symbols of Communication (1971), bahwa sajian merupakan pemberian atau persembahan kepada dewa dan roh, hal tersebut bukan saja apa yang digemari oleh para dewa dan roh tetapi mengandung lambang-lambang guna berkomunikasi dengan dewa tersebut. Misalnya itik, enthog, dan burung merpati menjadi kegemaran Betara Kala, kain bangun tulak adalah kain kegemaran Dewi Durga, kain pandhan binethot kegemaran Dewi Sri dan lain-lain. Demikian pula sajian-sajian yang disediakan oleh pemeluk Islam, misalnya nasi wuduk (nasi yang dibuat gurih dengan santan) dikatakan untuk dipersembahkan kepada Nabi Muhammad, karena orang Jawa mengasosiasikan nasi santan dan nasi yang bercampur dengan minyak samin yang diketahui orang Jawa adalah makanan orang Arab.
Disamping itu semua unsur sajian pada hakikatnya satu demi satu dari aspek namanya, bentuknya, sifatnya, warnanya, mengandung makna dan merupakan lambang. Tiap-tiap benda itu masing-masing mengutarakan harapan tertentu. Misalnya janur (daun kelapa muda) singkatan dari kata jatining nur berarti cahaya yang hakiki. Cengkir (kelapa muda) berarti kata kencenging pikir, ketetapan pikiran. Tebu dari antheping kalbu, berarti ketetapan hati. Kupat Luwar, laku papat dan luar, berati empat jalan pembebasan (catari arya sangghas).
Demikian pula sajian yang dihidangkan oleh pemeluk Islam. Misalnya nasi golong, atau geleg (gilig) berarti bersatu. Nasi golong dipersembahkan kepada 25 rasul denga maksud agar mereka bersama-sama memberi berkat. Kue apem, ketan, dan kolak oleh orang Jawa dihubungkan dengan kata Arab : afun yang berarti ampun, khataan yang berarti kesalahan, dan khalik yang berarti pencipta, maka ketiganya berarti “minta ampun segala kesalahan kepada sang Pencipta”.
Dewasa ini sudah jarang orang yang dapat menafsirkan seluruh jenis sajian yang dihidangkan dalm upacara ruwat itu, tetapi meskipun demikian orang taat dalam mengusahakannya dan menyediakan barang-barang itu, karena kalau kurang lengkap kemungkinan besar upacara itu tidak mencapai maksud yang dikehendaki, bahkan dapat mendatangkan bencana.

AJARAN PANCA YADNA

PANCA YADNYA

1). Panca Yadnya terdiri Atas dua kata, yaitu: “Panca” artinya lima dan “Yadnya” artinya korban suci atau persembahan suci. Jadi Panca Yadnya adalah lima persembahan suci yang tulus ikhlas.
2). Jenis-jenis Panca Yadnya, yaitu:
a. Dewa Yadnya adalah persembahan suci yang ditujukan kepada Sang Hyang Widhi dan para Dewa. Dewa Yadnya biasanya dilakukan di Pura, mrajan, atau di tempat yang bersih, yang memiliki nilai kesucian. Tujuan dari Dewa Yadnya adalah menyampaikan rasa bhakti dan syukur kepada Sang Hyang Widhi atas segala anugerah-Nya.
Persembahyangan
b. Pitra Yadnya adalah persembahan suci yang ditujukan kepada leluhur dan bhatara-bhatar Tujuannya adalah menyucikan roh-roh leluhur agar mendapat tempat yang lebih baik.
upacara pitra yadnya
c. Rsi Yadnya adalah persembahan suci yang ditujukan kepada para Rsi dan guru untuk menjaga kesejahteraannya. Rsi adalah orang-orang yang bijaksana dan berjiwa suci. Pendeta atau Sulinggih atau guru dapat juga disebut orang suci karena beliau merupakan orang bijaksana yang memberikan bimbingan kepada murid-muridnya.
Penghormatan pada orang suci
d. Manusa Yadnya adalah upacara yang dipersembahkan untuk memelihara hidup, kesempurnaan dan kesejahteraan manusia.
e. Bhuta Yadnya adalah persembahan suci yang ditujukan kepada Bhuta Kala atau makhluk bawahan. Bhuta Kala adalah kekuatan-kekuatan alam yang bersifat negative yang perlu kita lebur (somya) agar kembali pada sifat-sifat positif agar tidak mengganggu ketenangan hidup umat manusia.
Pacaruan
3. Contoh pelaksanaan Panca Yadnya dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:
a. Contoh pelaksanaan Dewa Yadnya dalam kehidupan sehari-hari adalah:
  •  Melakukan Tri Sandhya tiga kali dalam sehari.
  • Selalu berdoa terlebih dahulu sebelum melakukan kegiatan.
  • Menjaga kebersihan tempat suci.
  • Mempelajari dan mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.
  • Melaksanakan persembahyangan pada hari-hari suci seperti Purnama atau Tilem.
b. Contoh pelaksanaan Pitra Yadnya dalam kehidupan sehari-hari adalah:
  • Berpamitan pada orang tua ketika akan bepergian.
  • Menghormati orang tua.
  • Menuruti nasehat orang tua.
  • Membantu dengan rela pekerjaan yang sedang dilakukan orang tua.
  • Merawat orang tua yang sedang sakit.
c. Contoh pelaksanaan Rsi Yadnya dalam kehidupan sehari-hari adalah:
  • Belajar dengan tekun.
  • Menghormati guru.
  • Menuruti perintahnya.
  • Mentaati dan mengamalkan ajarannya.
  • Memelihara kesejahteraan dan kesehatan orang suci (Sulinggih dan pemangku).
d. Contoh pelaksanaan Manusia Yadnya dalam kehidupan sehari-hari adalah:
  • Tolong-menolong antar sesama.
  • Belas kasihan terhadap orang yang menderita.
  • Saling menghormati dan menghargai antar sesama.
  • Melaksanakan upacara untuk menyucikan lahir bathin manusia, seperti:
1. Upacara selamatan bayi dalam kandungan 7 Bulan
2. Upacara selamatan bayi baru lahir 35 hari
3. Upacara selamatan tedhak siten
e. Contoh pelaksanaan Bhuta Yadnya dalam kehidupan sehari-hari adalah:
  • Merawat dan memelihara tumbuh-tumbuhan dengan baik.
  • Merawat binatang peliharaan dengan baik.
  • Menjaga kebersihan lingkungan.
  • Menyayangi makhluk lain.

MANTRA MAHASAKTI: GAYATRI MANTRAM

Berdoa dan sembahyang adalah kewajiban kita sebagai mahkluk Tuhan sebagai ungkapan rasa syukur, memohon keselamatan dan kebahagiaan rohani/spiritual. Agama adalah jalan menuju kepada-Nya, dan setiap agama ada suatu ungkapan kata-kata indah dan relegius sebagai sarana komunikasi mendekatkan diri kepada Beliau Yang Maha Esa. Semua kata-kata suci tersebut tercantum dalam kitab suci agama masing-masing.
Dalam agama Hindu secara universal kita mengenal yang namanya mantra/mantram. Mantra bukanlah hanya sekedar nyanyian kata-kata, namun sebagai sarana memusatkan pikiran menuju alam kebahagiaan spiritual Tuhan/Sang Hyang Widhi dan sebagai sarana komunikasi yang mempunyai nilai yang sangat religius. Mantra tidak hanya diucapkan berkali-kali tetapi juga harus dimengerti dan direnungkan. Dengan begitu anda akan dapat merasakan kebahagiaan spiritual menuju kepada Hyang Widhi.
Mantra yang paling penting kita kenal dan merupakan pokok atau ibu dari semua mantra dan weda adalah mantram Gayatri. Mantra Gayatri juga menjadi bagian dalam mantra Tri Sandhya yang menjadi mantra persembahyangan umat Hindu di Bali.
OM, Bhur bhuvah svaha
Tat Savitur Warenyam
Bhago devasya Dhimahi
Dhiyo yo Nah Pracodayat (RegWeda III.62:10)

Yang artinya:
Oh Tuhan! Engkau adalah Pemberi Hidup, 
pelebur rasa sakit, penderitaan dan kesedihan, 
Perwujudan dan pemberi kebahagiaan, 
Oh! Pencipta alam semesta, 
Semoga kita menerima cahaya-Mu yang meleburkan dosa kita, 
Semoga Engkau menuntun akal budi/pikiran kita ke arah yang benar.
Mantra Gayatri (ibu dari Veda) adalah mantra yang terkemuka dalam agama dan kepercayaan umat Hindu, mantra yang mengilhami dan mengajarkan suatu kebijaksanaan. Maknanya adalah “Semoga Tuhan/Hyang Widhi menerangi akal/budi kita yang akan menuntun kita ke jalan  yang benar”.Mantra ini juga merupakan doa kepada “pemberi cahaya dan kehidupan” -matahari (Savitur).
Mantra Gayatri ini tercantum dalam Weda RegWeda III.62:10 yang ditemukan oleh Maharsi Wiswamitra, yang merupakan salah satu Sapta Rsi yang menerima wahyu langsung dari Hyang Widhi/Tuhan yang maha Esa. Rsi Wiswamitra lah menginisiasi Sri Rama dalam misteri pemujaan Surya melalui mantra Aditya Hrdayam (dalam wiracerita Ramayana). Mantra Gayatri membuat Rsi Wiswamitra mampu menggunakan berbagai senjata langka yang mematuhi kehendaknya bila mantra itu diucapkan dengan penuh keyakinan. Malalui kesaktian yang diperolehnya dengan cara ini, Wiswamitra dapat menciptakan alam semesta yang sama dengan jagat raya kita ini.
Gayatri, Dewi berwajah lima, memiliki makna lima indra atau Pranas, dan melindungi jiwa ini dengan kekuatan lima ini dari mereka yang mengucapkan mantra Gayatri. Dalam perannya sebagai pelindung, Gayatri disebut sebagai Savitri.
Mantra Gayatri telah dihormati selama ribuan tahun oleh umat Hindu dan Buddha yang juga disebut “Mantra Cahaya Spiritual.” mantra ini dipercayai dapat menyembuhkan tubuh, Roh dan menerangi intelektual kita. mantra ini memiliki efek yang sama seperti Maha Mantra Mrityunjaya yang dapat menyembuhkan tubuh dari sakit dan depresi. Mantra Gayatri  adalah Sumber Mantra Veda yang lebih tinggi dari India, diyakini bahwa orang yang mengucapkan dan melapalkan Mantra Gayatri ini akan bebas dari segala beban dosa yang dilakukan.
Hal ini dianggap menjadi kendaraan tertinggi untuk memperoleh pencerahan spiritual. Selain itu, mantra dipercaya dapat mengaktifkan semua tujuh Cakra utama dalam tubuh dan menghubungkannya dengan ke tujuh keberadaan alam spritual alam semesta (sapta loka).
Di India, bentuk doa Gayatri bisanya dapat digunakan untuk berdoa kepada Dewa Siwa disebut Rudra Gayatri. Demikian pula, seseorang dapat bernyanyi untukDewa Ganesha Gayatri Ganesha, Hanuman Gayatri untuk Hanoman, dan Saraswati  Gayatri untuk Dewi Saraswati.
Veda secara luas dianggap sebagai sumber dari segala pengetahuan sejati, kata “Veda” itu sendiri berarti “Pengetahuan”. Gayatri Devi juga memberikan  “Mantra Gayatri” kepada umat manusia yang juga dikenal sebagai “Mantra Guru”atau “Mantra Savitri”. Mantra ini adalah salah satu mantra tertua, dan umumnya dianggap sebagai mantra tertinggi dan paling kuat diantara semua mantra. Oleh karena itu, mantra ini sering disebut sebagai “Bunda Weda”. Dalam Bhagavad Gita,Sri Krishna telah menyatakan kepada Arjuna – “Diantara semua mantra, Akulah Gayatri”.
Makna Yang Terkandung dalam Mantra Gayatri
Gayatri merupakan mantra yang sangat unik karena merupakan perwujudan dari tiga konsep stotra (nyanyian pujian dan kemuliaan Sang Hyang Widhi), dhyaana (meditasi) dan praarthana (doa).
Ketiga bagian/konsep ini juga dapat dilukiskan sebagai berikut:
  1. Pujian kepada Savita. Mula-mula Tuhan dipuja puji.
  2. Meditasi pada Savita. Setelah itu Tuhan direnungkan dengan Khidmat.
  3. Doa kepada Savita. Diajukanlah permohonan kepada Tuhan untuk membangkitkan dan menguatkan akal budi atau kemampuan pertimbangan yang bijak dalam diri kita.
Kalau kita telusuri makna dari setiap kata-kata dalam mantra Gayatria, adalah sebagai berikut:
Aum = Brahman/Tuhan;
bhoor = perwujudan dari energi spiritual yang vital (Pran);
bhuwah = penghancur penderitaan;
swaha = perwujudan dari kebahagiaan;
tat = itu;
Savitur = terang seperti matahari;
varenyarn = terpilih, terbaik;
Bhargo = penghancur dosa-dosa;
Devasya = ilahi;
sembilan kata pertama menggambarkan kemuliaan Hyang Widhi
dhiimahi = dapat menyerap; berkaitan dengan meditasi
dhiyo = intelek;
yo = yang;
Naha = kita;
prachodayat = dapat menginspirasi!
“dhiyo yo na prachodayat” adalah doa kepada Tuhan
Mantra Gayatri mengindikasikan ilmu pengetahuan yang terutama akan hakikat penyatuan dengan Sang Atman yang hadir di dalam diri kita dan Yang Maha Hadir di mana saja.
Yang mengetahui akan segala bentuk budhi (intelek) yaitu Yang Menerangi semua bentuk pikiran dan hadir di semua bentuk intelek, yang merupakan Saksi dari semua bentuk budhi …. Ialah Sang Jati Diri yang disiratkan oleh Mantra Gayatri.
Maha Brahma, Realitas transedental yang Hakiki adalah merupakan Sang Jati Diri itu semata-mata, dengan mejapakan Gayatri, Beliau akan bangkit (di dalam diri kita). Sang Atman ini diindikasikan di Mantra Gayatri sebagai Sang Surya (Savitur).
Kata “tat” disini mengartikan yang maha hadir, Sang Atman di dalam diri kita, yang bukan tidak dan bukan lain adalah Sang Atman di dalam semuanya, yaitu Yang Maha Atman (Param Brahma).
Kata surya (Savitur) bermakna Tunggal, yaitu satu substratum bagi semua pengalaman delusi yang berbasiskan pruralitas dan juga berbagai permainan ilusi di medan penciptaan ini, termasuk juga dalam tahap pemeliharaan dan penghancurannya (kiamat, pralaya).
Kata “Varenyam” (Yang dipuja-puji, Yang dikagumi) berarti Dia (Itu) yang dituju setiap insan (semuanya), Yang bersifat ananda-rupam (rahmat, berkah yang tidak ada batasnya).
Kata “Bhargah” berarti yang menghancurkan semua bentuk kebodohan, ketidak-sempurnaan yang dipancarkan oleh kekurang-pengetahuan akan pemahaman Sang Ralitas. Dimana hasil-hasil kebodohan tersebut dihancurkan, maka di situ akan hadir kesadaran akan Realitas Yang Maha Esa secara segera.
“Devashya” (Cahaya) di sini bermakna kesadaran yang senantiasa hadir, menerangi baik di dalam maupun di luar, di tiga tahap (alam) ….. kesadaran, alam-mimpi dan alam tidur-lelap.
Yang adalah sifatKu yang murni, yaitu AtmanKu, adalah tidak lain tetapi Berkah yang terutama, substratum untuk semuanya, jauh diluar berbagai penderitaan dan tragedi, bersinar sendiri, bersifat kesadaran yang murni, yaitu Brahman Itu Sendiri.
Sekarang jelaslah sudah bahwa Mantra-Gayatri ini mengindikasikan kesadaran dan kebangkitan (dalam arti yang dalam) dalam diri kita agar kita faham akan Hakikat Hyang Tunggal yang menghidupi setiap makhluk.
Kekuatan Mantra Gayatri
Para Maha Resi memilih dan dan menyusun kata-kata dalam Mantra Gayatri sehingga mantra ini tidak hanya menyampaikan makna tetapi juga menciptakan kekuatan tertentu dari kebijaksanaan yang benar melalui ucapan mantra ini. Waktu yang tepat untuk melantunkan mantra ini adalah tiga kali sehari – pada waktu fajar, tengah hari, dan saat senja. Waktu-waktu ini dikenal sebagai tiga sandhya atau yang lebih dikenal dengan tri sandya – pagi, tengah hari dan sore menjelang malam saat matahari mulai terbenam. Manfaat maksima dari mantra inil dapat diperoleh dengan melantunkan mantra sebanyak 108 kali yang dapat dengan menggunakan genitri. Namun, orang dapat mengucapkannya selama 3,9, atau 18 kali jika tidak cukup waktu. Suku kata mantra mempunyai pengaruh yang sangat positif terhadap pembangkitan dan pembersihan semua chakra atau pusat energi dalam tubuh manusia – maka, pengucapan  dan lafal yang tepat adalah sangat penting.
Nyanyian dari Mantra Gayatri menghapus semua rintangan di jalan kita untuk meningkatkan kebijaksanaan, pertumbuhan dan perkembangan rohani. Ajaran dan kekuasaan yang tergabung dalam Mantra Gayatri memenuhi tujuan ini. Hikmat yang benar mulai muncul segera setelah Japa (bacaan) dari Mantra Gayatri dilakukan.
Mantra Gayatri dalam Weda
Chandogya Upanisad 3.12.1,2,5 (Kualitas Gayatri)
  • Seluruh penciptaan ini adalah Gayatri. Dan Gayatri adalah mantra/suara suci – untuk menyanyikan (gayati) dan melindungi (trayati) seluruh penciptaan. Gayatri memang semua ini, apa pun yang ada. Suara adalah Gayatri; untuk berbicara memang menyanyi dan menghapus ketakutan dari semua ini yang ada.
  • Yang mana Gayatri ini, bahkan bumi ini, karena di bumi ini adalah semua makhluk ditetapkan dan mereka tidak melampaui itu.
  • Gayatri ini terkenal berkaki empat dan enam kali lipat.
Chandogya Upanisad 4.17.1-6 (Asal Bhur Bhuvah Svah)
  • Prajapati ( Tuhan sebagai pencipta dunia) merenungi di tiga dunia. Dari mereka, ia diekstraksi esensi mereka; api dari bumi, udara dari langit dan matahari dari surga.
  • Dia lebih jauh terpekur pada tiga dewa. Dari mereka, ia diekstraksi esensi mereka: Riks (Rg-veda) dari api, Yajus-mantra (Yajur-veda) dari udara, danSaman (Sama-veda) dari matahari.
  • Ia terpekur pada tiga Veda. Dari mereka, ia diekstraksi keberadaan mereka;Bhuh dari Riks, Bhuvah dari Yajus-mantra dan Svah dari Samans.
  • Oleh karena itu jika pengorbanan tersebut dianggap cacat pada rekeningRiks (atau Yajus atau Samans), kemudian dengan mantra ‘Bhuh Svaha’ (atau ‘Bhuvah Svaha’ atau ‘Svah Svaha’), imam Brahman harus menawarkan suatupersembahan khusus dalam api.
Jadi sesungguhnya, melalui esensi dari Riks(atau Yajus atau Samans), melalui kejantanan dari Riks (atau Yajus atauSamans), ia membuat baik cedera mengorbankan sehubungan dengan Riks(atau Yajus atau Samans).
Brahadaranyaka Upanisad 5.14.4 (Gayatri sebagai Pelindung)
Mantra Gayatri didasarkan pada kebenaran. Untuk kebenaran didasarkan pada kekuatan. Kekuatan adalah nafas, dan didasarkan pada napas. Jadi,Gayatri melindungi (tra) kekayaan (gaya) (napas!) Dari mereka yang berbicaradengan kesungguhan dan pengabdian. Ketika seseorang mengucapkanGayatri atas nama orang, melindungi napas orang itu juga!
Brahadaranyaka Upanisad 5.14.5 (Empat ‘endapan’ dari Gayatri)
Sloka ini berbicara tentang kekayaan tak terbatas yang terkandung dalam’endapan’ empat dari Mantra Gayatri.
Kaki pertama (Aum Bhur bhuvah Svaha) dikatakan setara dengan kekayaan yang terkandung dalam tiga dunia disatukan.
Kaki kedua (Tat Savitur varenyarn) dikatakan setara dengan kekayaan yang terkandung dalam Tiga Veda utama.
Jika satu orang menerima hadiah untuk memperluas sejauh ada makhluk hidup, yang akan sama kaki ketiga (Bhargo devasaya dhiimahi).
Kaki keempat (dheeyo yo nah prachodyaat) didasarkan pada kemuliaan matahari, yang kekuasaan dan kekayaan tetap tiada bandingnya dan tak tertandingi. Oleh karena itu, tidak ada jumlah kekayaan yang bisa menyamaikaki keempat dari Gayatri!
Dalam Atarwa Weda XIX,71,1 yang berbunyi sebagai berikut;
Stuta maya varada veda mata,
Pracodayantam pawamani dwijanam
Ayuh pranam prajam pasum
Kertim dravinam brahmavarcanam
Mahyam dattva vrajata brahmalokam
yang artinya;
Gayatri Mantram yang diakhiri dengan kata pracodayat dalah Ibunya empat Weda, yang menyucikan semua dosa para dwija,
Oleh karena itu selalu ucapkan mantra tersebut,
Gayatri Mantra ini pemberi panjang umur, prana dan keturunan yang baik, pelindung binatang, pemberi kemashyuran, pemberi kekayaan dan pemberi cahaya yang sempurna, Oh Tuhan Berikanlah jalan moksa padaku
Makna Gayatri Mantra adalah anugrah pencerahan pada hati nurani ini. Nurani dalam Kegelapan akan dituntun ke jalan terang, hati yang terang akan dituntun pada perbuatan satwika.
Dalam agama Hindu kita mengenal banyak mantra sebagai bahasa komunikasi kepada Tuhan/Sang Hyang Widhi dan kita wajib mengetahui dan mengerti apa makna yang terkandung di dalamnya. Kesemua mantra mesti diketahui oleh pendeta/Peranda maupun pamangku (golongan brahmana) karena mempunyai kewajiban memimpin suatu upacara keagamaan. Sedangkan kita sebagai umat Hindu secara umum, minimal yang mesti kita ketahui adalah mantra Gayatri, Tri Sandya dan Panca Sembah. Walaupun kadang kala susah untuk menghapal, mantram Gayatri harus kita ketahui dan makna yang terkandung di dalamnya. Apagunanya kita mengucapkan mantra dengan khusuk tetapi tidak tahu makna apa yang terkandung di dalamnya.
Jadi, sebagai Umat Hindu yang baik, mari kita mengucapkan dan menghayati Gayatri Mantra dengan baik dan benar demi kebahagiaan alam semesta.

MANTRA KUNO

Mantra Pasupati
Om Sanghyang Pasupati Ang-Ung Mang ya namah svaha
Om Brahma astra pasupati, Visnu astra pasupati, Siva astra pasupati,
Om ya namah svaha
Om Sanghyang Surya Chandra
tumurun maring Sanghyang Aji Sarasvati
tumurun maring Sanghyang Gana,
angawe pasupati maha sakti,
angawe pasupati maha siddhi,
angawe pasupati maha suci,
angawe pangurip maha sakti,
angawe pangurip maha siddhi,
angawe pangurip maha suci,
angurip sahananing raja karya teka urip (3x)Om Sanghyang Akasa Pertivi pasupati, angurip “…………………………..”Om eka vastu avighnam svaha
Om Sang-Bang-Tang-Ang-Ing-Nang-Mang-Sing-Wang-Yang-Ang-Ung-Mang
Om Brahma pasupati
Om Visnu Pasupati
Om Siva sampurna ya namah svaha
Kemudian masukkan bunga ke dalam air yang telah disiapkan
Dengan demikian maka air tadi sudah menjadi Tirtha Pasupati, dan siap digunakan untuk mempasupati diri sendiri dan benda-benda lainnya.
Catatan:
Titik-titik pada mantra di atas adalah sesuatu yang mau dipasupati)-dalam hal ini adalah air untuk tirtha pasupati. Dalam hal tertentu dapat dipakai mempasupati yang lainnya..tergantung kebutuhan (tapi tetap saya sarankan hanya untuk Dharma, karena jika akan dipakai untuk hal-hal negatif maka mantra tersebut tidak akan berguna bahkan akan mencederai yang mengucapkannya)!!
Mantra di atas bersumber dari lontar Sulayang Gni Pura Luhur Lempuyang, koleksi pribadi.
Mantra berikut juga bias digunakan, yang di Kontribusi dari Jro Mangku Wayan Natia, Pinandita Loka Palaya Seraya di Kecamatan Banjit, Way Kanan-Lampung.
Om ang ung pasupati badjra yuda agni raksa rupaya purwa muka desa tanaya pasupatnya ong pat
Om ang ung pasupati pasa yuda agni raksa rupaya pascine muka desa tanaya pasupatnya ong pat
Om ang ung pasupati cakra yuda agni raksa rupaya utara muka desa tanaya pasupatnya ong pat
Om ang ung pasupati padma yuda agni raksa rupaya madya muka desa tanaya pasupatnya ong pat
Om ang ung pasupati para mantra pasupatnya ong pat
Om ang brahma urip
Om ung wisnu urip
Om mang iswara urip
Urip (3x) Tang rerajahan
Om dewa urip, manusia urip, sing teka pada urip
Om kedep sidhi mandi mantra sakti
Atau dapat juga menggunakan mantra berikut, yang dikontribusikan oleh jro manggih, salah satu orang yang disegani di daerah sebatu, gianyar..
Ong ang ung,
teka ater (3x)ang ah, teka mandi (3x) ang.
(jeda sesaat)
Ong betare indra turun saking suargan,
angater puja mantranku,
mantranku sakti,
sing pasanganku teka pangan,
rumasuk ring jadma menusa,
jeneng betara pasupati.
Ong ater pujanku, kedep sidi mandi mantranku, pome.
(jeda sesaat)
Om bayu sabda idep, urip bayu, urip sabda, urip sarana, uriping urip, ya nama swaha.
Om aku sakti, urip hyang tunggal, lamun urip sang hyang tunggal, urip sang hyang wisesa, teka urip 3x
Atau
MENYUCIKAN BAHAN
ong sameton tasira matemahan ongkara
Malecat ring angkasa tumiba ring pertiwi
Matemahan sarwe maletik
Mabayu, masabda, maidep
Bayunta pinake sabdan I ngulun
Pejah kita ring brahma
Urip kita ring wisnu
Begawan ciwakrama mengawas-ngawasi sarwa waletik
MANTRA NGERAJAH
ong saraswati sudha sudha ya namah swaha
PENGURIP RERAJAHAN
ong ang ung mang
Ang betara brahma pangurip bayu
Ung betara wisnu pangurip sabda
Mang betara iswara pangurip idep
Ong sanghyang wisesa pengurip saluiring rerajahan
Teke urip (3x) ang ung mang ong
PENGURIP SERANA
ong urip bayu sabda idep
Bayu teke bayu urip
Sabda teke sabda urip
Idep teke idep urip
Uriping urip teke urip (3x)
Hasilnya dari proses pasupati tidak akan sama antara orang yang 1 (satu) dengan yang lainnya tergantung tingkat kesucian masing – masing orang, memang semua orang bisa melakukan pasupati, asal tahu tatacara dan langkah – langkahnya. istilah balinya “eed upacara” tapi tetap hasilnya tidak akan sama kekuatan yang terpancarkan, bahkan bias – bisa kekuatan tersebut bahkan akan berefek buruk pada yang menggunakan barang – barang hasil pasupati jika salah dalam melakukan upacara tersebut.
Kewaskitaan sangat diperlukan karena proses tersebut mesti disaksikan sendiri apakah sdh benar atau hanya pikiran semata