Prologue
Alur penalaran logis menganggap bahwa awal dari ke-ada-an segala sesuatu adalah ketiadaan. Kata filsuf ke-tiada-an itu ada yang tiada. Kalimat tersebut sebagai premis mayor mengawali isi fikiran para filsuf kuno sebagai tahap awal prestasi kesadaran akal-budinya dalam memahami hukum alam yang universal ini.
Namun benarkah demikian ke-ada-an yang sesungguhnya ? Atau jangan-jangan hakekat ketiadaan adalah hanya semata karena ketidaksadaran manusia saja ? Saya pribadi enggan meletakkan justifikasi pada ke-tiada-an. Sebaliknya lebih senang memilih hipotesis kedua yakni bukan ke-tiada-an lah sesungguhnya yang ada, namun ketidaksadaran manusia.
Dengan asumsi bahwa sulitnya mengetahui rumus kebenaran sejati yang
tersimpan rapat dalam relung jagad raya bagaikan sulitnya menelusuri
alam kegaiban, yang membutuhkan pengerahan indera batin (ke-enam). Lebih sulit lagi karena kebanyakan manusia gagal mereduksi hegemoni panca indera (jasad).
Jika demikian halnya manusia layak mengibarkan “bendera putih” sebagai
sikap menyerah atas segala keterbatasan kemampuannya. Lantas kesadaran
semu dengan buru-buru mengambil keputusan meyakinkan sbb; adalah tabu mengutak-atik ranah gaib, karena ia hanya membutuhkan keyakinan saja.
Dalam kesadaran “semu” ini menjadi sangat bermanfaat kita mengumpulkan
pengalaman dan pengetahuan orang perorang yang beragam agar menjadi satu
kesatuan ilmu untuk menggugah kesadaran manusia. Dibutuhkan sikap
membuka diri agar kesadaran semakin meningkat. Pada tataran kesadaran
tertentu seseorang akan sampai pada pemahaman bahwa : “kebenaran
sejati ibarat cermin yang pecah berantakan, sedangkan kesadaran akal
budi, kepercayaan, ajaran, sistem religi, kebudayaan, tradisi merupakan
satu di antara serpihan cermin itu”.
Kesadaran; Alat Untuk Membuka Rahasia Rumus Tuhan
Adalah menjadi tugas umat manusia untuk membuka tabir rahasia kehidupan. Baik dimensi fisik (wadag),
maupun dimensi metafisik berupa misteri alam kegaiban. Semakin banyak
kita mengungkap hukum-hukum alam, kodrat alam atau kodrat Tuhan, maka
akan semakin banyak terungkap misteri kehidupan ini. Sedangkan saat ini,
prestasi manusia seluruh dunia mengungkap rahasia kehidupan mungkin
belum lah genap 0,0000000001 % dari keseluruhan rahasia yang ada. Terlebih lagi rahasia eksistensi alam gaib.
Kebenaran rasio seumpama membayangkan laut. Kebenaran empiris melihat permukaan air laut. Kebenaran
intuitif ibarat menyelam di bawah permukaan air laut. Tugas
penjelajahan ke kedalaman dasar laut bukan lah tugas akal-budi, namun
menjadi tugasnya sukma sejati yang dibimbing oleh rasa sejati.
Intuisi telah menyediakan pengenalan bagi siapapun yang ingin menyelam
ke kedalaman laut. Jangan heran bilamana akal-budi disodorkan informasi
aneh (asing dan nyleneh) serta-merta bereaksi menepis ..it’s nonsense !
Reaksi yang lazim & naif hanya karena akal-budi kita lah yang
sesungguhnya sangat terbatas kemampuannya. Lain halnya dengan
kecenderungan perilaku orang-orang post-modernis tampak pada perilaku
orang-orang sukses di masa kini. Mereka percaya akan kemampuan intuisi.
Malah dengan bangga memproklamirkan diri jika kesuksesannya berkat
dimilikinya talenta intuisi yang tajam. Dengan kata lain untuk meraih
sukses tak cukup hanya berbekal teori-teori ilmu ilmiah serta pengalaman
akal-budi (rasionalisme-empirisisme) saja.
Kesadaran adalah Proses yang Dinamis
Berawal dari ketidaksadaran lalu berproses menjadi kesadaran tingkat awal yakni kesadaran jasad/ragawi.
Dari kesadaran jasad meningkat menjadi kesadaran akal-budi yang
diperolehnya setelah manusia mampu menganalisa dan menyimpulkan sesuatu
yang dapat ditangkap oleh panca-indera. Seiring perkembangan kedewasaan
manusia, kesadaran akal-budi (nalar/rasio) meningkat secara kualitatif
dan kuantitatif. Tahap ini seseorang baru disebut orang yang pandai atau
kaya ilmu pengetahuan. Kesadaran akal-budi ini bersifat lahiriah atau
wadag, jika dikembangkan lebih lanjut akan mencapai kesadaran yang lebih
tinggi yakni kesadaran batiniah.
Kesadaran Tinggi adalah Berkah Bagi Alam Semesta
Semakin tinggi kesadaran manusia (high consciuousness)
menuntut tanggungjawab yang lebih besar pula. Karena semakin tinggi
kesadaran berarti seseorang semakin berkemampuan lebih serta dapat
melakukan apa saja. Celakanya, bila kesadaran tinggi
jatuh ke dalam penguasaan nafsu negatif. Sehingga manusia bukan
melakukan sesuatu yang konstruktif untuk alam semesta (rahmat bagi alam), sebaliknya melakukan perbuatan yang destruktif (laknat kepada alam). Sementara tanggungjawab manusia adalah menjaga harmonisasi alam semesta dengan
melakukan sinergi antara jagad kecil (diri) dan jagad besar (alam
semesta) dengan kata lain berbuat sesuai dengan rumus-rumus (kodrat)
Tuhan. Sebagai contoh kita mengakui bahwa Tuhan itu Maha Maha Pengasih
maka kita harus welas asih pada sesama. Jika kita yakin Tuhan Maha Pemurah dan Penolong, maka kita tidak boleh pelit dalam membantu dan menolong sesama. Bila kita percaya Tuhan Maha Besar dan Maha Adil maka kita tak boleh primordial, rasis, hipokrit, etnosentris, mengejar kepentingan sendiri, kelompok atau golongannya. Jika kita memahami bahwa Tuhan Maha Bijaksana; maka kita tidak boleh mengejar “api” (nar) ke-aku-an, yakni rasa mau menang sendiri, mau bener sendiri, mau mengejar butuhnya sendiri, sembari mencari-cari kesalahan orang lain. Demikian seterusnya, sehingga perbuatan kita menjadi berkah untuk lingkungan sekitar, untuk alam semesta dengan segala isinya.
Proses berkembang manusia bersifat adi kodrati menuju pada hukum/rumus alam yang paling dominan yakni PRINSIP KESEIMBANGAN (harmonisasi) alam semesta. Penentangan rumus alam/kodrat Tuhan tersebut adalah sebuah malapetaka besar kehidupan manusia yakni kehancuran peradaban bahkan kehancuran bumi.
Dalam terminologi Jawa tanggungjawab atas dicapainya kualitas kesadaran
manusia tampak dalam pesan-pesan arif nan bijaksana untuk meredam nafsu
misalnya; ngono yo ngono ning aja ngono (jangan berlebihan atau lepas kendali), aja dumeh (jangan mentang-mentang), serta menjaga sikap eling dan waspadha.
Memahami
kesadaran tidaklah mudah, karena bekalnya adalah kesadaran pula.
Sebagaimana digambarkan dalam filosofi Jawa dalam bentuk saloka : Nggawa latu adadamar ; …membawa api untuk mencari api”. Hal itu menjadi satu problematika tersendiri (the problem of consciousness) umpama tamsil ; ..kalau ingin cari makan untuk mengisi perutmu, syaratnya perutmu harus kenyang dulu.
TAHAP-TAHAP KESADARAN
1. Kesadaran Jasad
Kesadaran
jasad adalah kesadaran tingkat dasar atau awal pada manusia. Kesadaran
paling dasar ini terjadi pada waktu bayi baru lahir di dunia belum
memiliki kesadaran akal budi. Namun melalui pancaindera raganya telah
memiliki sensitifitas merespon rangsang atau stimulus. Misalnya jika
tubuh bayi merasakan gerah atau digigit nyamuk reaksi si bayi akan
menangis. Reaksi dapat bekerja otomatis karena setiap makhluk hidup
dibekali sensor keselamatan berupa naluri. Naluri sebagai alat sederhana
yang terdapat di tubuh kita yang berfungsi ganda menciptakan kesadaran
sekaligus pelindung diri. Melalui naluri inilah sekalipun akal-budi
belum mampu mengolah kesadaran namun jasad telah lebih dulu mampu
merespon rangsangan-rangsangan yang membahayakan dirinya. Menangis
adalah salah satu cara menjaga diri (survival) yang paling alamiah dan sederhana bagi manusia. Namun demikian kesadaran jasad berikut ubo rampe
naluri ini masih setara dengan kesadaran yang dimiliki binatang.
Misalnya sekelompok burung melakukan eksodus karena akan terjadi
pergantian musim. Burung tersebut hanya berdasarkan naluri
kebinatangannya saja untuk mengetahui kapan musim segera berganti. Atau
induk binatang yang menyusui anaknya hingga usia tertentu kemudian
indungnya menyapih. Itu semua bukan berasal dari kesadaran akal-budi
melainkan berdasarkan kesadaran jasad saja. Kesadaran naluri tidak
diperlukan proses belajar karena naluri akan berkembang secara alamiah
dengan sendirinya tanpa perlu pendidikan nalar atau akal-budi. Jika ada
sekolah gajah di dalamnya bukanlah proses belajar mengajar yang
melibatkan kegiatan analisa akal-budi. Hanya berupa pembiasaan naluri
(tanpa analisa) dengan cara menyakiti tubuh (hukuman) dan
hadiah/menyamankan tubuh (stick & carrot). Pembiasaan naluri ini merupakan cara-cara paling maksimal yang sanggup direspon oleh naluri hewani.
Pada
tingkat kesadaran ini mahluk hidup tidaklah mengenal nilai-nilai
baik-buruk, dan nilai spiritual (roh/jiwa). Akan tetapi perilakunya
telah mengikuti hukum alam yang paling sederhana, paling penting, namun
mudah direspon semua makhluk hidup. Perilaku binatang hanya sekedar
mengikuti hukum alam sebagai bentuk harmonisasi dengan
alam semesta. Misalnya hukum rimba, siapa yang kuat secara fisik akan
memenangkan pertarungan. Semakin kuat binatang, jumlah populasinya
semakin sedikit dan tidak mudah berkembang biak. Hukum alam tampak pula
pada pola hubungan mata rantai makanan. Binatang pemakan akan lebih
sedikit jumlahnya daripada binatang yang dimakan. Sehingga bila salah
satu mata rantai makanan mengalami kerusakan akibat ulah manusia akan
mengganggu sistem keseimbangan alam. Sedangkan bencana alam yang
bersifat alamiah (force major) atau di luar kekuatan manusia
pada galibnya merupakan hukum alam pula, yakni proses seleksi alam
menuju keseimbangan alam (harmonisasi).
Pada tahap kesadaran jasad ini tidak ada nilai baik dan buruk. Prinsip
kebenaran manakala segala sesuatu berjalan sesuai hukum atau kodrat
keseimbangan alam lahir, bukan kebenaran sejati yang ada dalam alam
batin. Sekalipun membunuh, binatang tidaklah bersalah, karena ia
hanya mempertahankan wilayahnya, atau demi memenuhi kebutuhan perutnya.
Setara dengan perbuatan bayi mengencingi jidat presiden bukanlah
pelanggaran norma hukum dan norma sosial. Karena kesadaran bayi sepadan dengan kesadaran hewani atau orang hilang ingatan, yakni sebatas kesadaran jasad dan tentunya belum berada dalam koridor konsekuensi norma baik dan buruk.
Bayi dan hewan tidak memiliki tanggungjawab sebagai konsekuensi atas
kesadaran jasadnya, lain halnya dengan kesadaran akal-budi manusia
dewasa. Sudah menjadi kodrat atau rumus alam bahwa semakin tinggi
kesadaran makhluk hidup, akan membawa dampak pada tanggungjawab lebih
besar pula.
Kesadaran Akal Budi
Setingkat
lebih tinggi dari kesadaran jasad adalah kesadaran akal-budi atau
rasio. Kesadaran akal budi berkaitan erat dengan proses pembelajaran dan
sosialisasi (pendidikan). Pada usia tertentu seorang bayi akan mulai
belajar memanggil ibunya, ayahnya, bisa tersenyum dan minta susu. Hal
itu terjadi karena kesadaran jasadnya telah mengalami transformasi pada
kesadaran aka-budi. Ditandai kemampuan akal-budinya merespon rangsangan
atau stimulus. Rangsang atau stimulus tak ubahnya data yang akan
diproses oleh software akal-budi menggunakan hardware otak. Maka kesadaran akal-budi merupakan kegiatan ilmiah
yang melibatkan pengolahan data-data. Pada tahap ini upaya manusia
mengungkap tabir misteri hukum alam sudah lebih maju karena menggunakan
kemampuan rasio atau akal budinya. Selanjutnya kesadaran akal-budi
dibagi menjadi dua yakni kesadaran dengan metode penalaran rasio (rasionalisme) dan pembuktian secara empiris (empirisisme).
1. Kesadaran Nalar
Sejarah filsafat Barat mencatat ada dua aliran pokok dalam lingkup epistemologi. Pertama, idealism atau rasionalism (Plato), suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peranan akal, idea, category, form, sebagai nara sumber ilmu pengetahuan. Tingkat kesadaran diri akan suatu nilai kebenaran diperoleh melalui kemampuan penalaran rasio saja
dalam arti mengandalkan kekuatan logika. Kesadaran akan bertambah
secara kuantitas bilamana suatu fenomena yang empiris dapat diterima
akal atau memiliki sistematika pemikiran yang logis. Dengan ketentuan
ini fenomena sudah cukup dianggap nilai kebenaran walau terkadang
bersifat parsial. Kelemahan kesadaran rasionalisme adalah mensyaratkan kita tidak cukup bekal (nggawa latu)
sebagai alat komparasi atau landasan silogismenya. Rasionalisme dalam
menjelaskan realitas berdasarkan atas kategori-kategori akal saja.
Aristoteles sebagai penerus Plato melakukan pendekatan realisme menemukan alat ukur yang disebut organon. Prinsip organon mampu menjelaskan segala sesuatu yang ada (fenomenon). Namun Organon
sebagai metode pengajaran atau penjelasan yang bersifat deskriptif
belum mampu melakukan eksplanasi secara mendalam. Pada akhirnya dengan
metode tersebut Aristoteles menyadari tidak mampu bertindak lebih banyak
terutama dalam upaya menjelaskan eksistensi di luar diri (being) yang melampaui akal-budi manusia.
Kesadaran
akal-budi bertujuan mengungkap sisi kebenaran akan sesuatu hal yang
rasional, realis, dan empiris. Namun kebenaran dalam scope kesadaran ini masih bersifat kebenaran koherensi.
Yakni kebenaran dapat diketahui jika ada suatu pernyataan atau premis
kemudian diikuti oleh premis yang lain yang mendukungnya. Dari dua
premis ini kemudian dapat ditarik kesimpulan (conclusion) sehingga menjadi kebenaran kesimpulan yang sesuai dengan sistematika rasio manusia (logic).
2. Kesadaran Empirisisme
Sebagai jawaban atas kelemahan Aristoteles dengan prinsip Organon selanjutnya ditemukan alat ukur lain yang ditemukan Francis Bacon yakni Novum Organum. Bagi Bacon kebenaran sesuatu itu tidak boleh hanya dijelaskan saja tetapi harus dilakukan pembuktian empiris melalui eksperimen. Di dalamnya harus ada proses menjadi. Hal itu memicu kesadaran empiris dengan metode eksperimentasi. Dalam perkembangannya empiricism disebut juga realism
yaitu mazab yang lebih menekankan peran indera jasad sebagai sumber
sekaligus alat memperoleh pengetahuan. Kedua aliran tersebut lahir di
Yunani pada tahun 423-322 SM. Selain kedua aliran tersebut masih ada
beberapa aliran lain di antaranya, kritisisme atau rasionalisme kritis, positivisme, fenomenologi dan lain-lainnya. Kesemuanya lahir setelah masa renaissance abad pertengahan di Barat.
Dalam kesadaran empiris prinsip kebenaran dipahami sebagai kebenaran korespondensi. Yakni kebenaran setelah dilakukan cross-chek
antara pernyataan dalam ide atau gagasan, dengan realitas faktual yang
ada. Misalnya garam itu asin, menjadi kebenaran bila kita sudah
melakukan pembuktian dengan mencicipi rasa garam.
Pada tahap ini spiritualitas yang berhasil dibangun baru pada tahap sekulerisme. Semua hukum alam, sains dan teknologi dicapai manusia melalui pengalaman empiris. Para penganutnya disebut mazab empirisisme. Kesadaran diperoleh hanya melalui instrumen akal-budi dan indera jasad semata. Konsekuansinya, religi dan sistem kepercayaan serta hukum-hukum alam haruslah dapat diterima dalam batas kemampuan akal-budi dan indera jasad semata.
Dalam
perkembangan selanjutnya kedua metode pencari kesadaran (kebenaran) di
atas dirasakan masih sangat relatif apalagi dalam upaya mencapai kesadaran sejati dirasakan masih teramat jauh karena masing-masing pendekatan terdapat kelemahan secara signifikan.
Dinamika Kesadaran A La Barat
Sejenak kita flash back,
sejak ditemukan filsafat sebagai induk dari segala ilmu pengetahuan
manusia untuk meningkatkan kesadaran atau mencari kebenaran. Lahir
perpaduan antara cabang filsafat empirisisme dengan rasionalisme
yang menuntut eksperimen sebagai upaya verifikasi kebenarannya. Sejak
itu sains dan teknologi berkembang, filsafat menemukan cabang-cabang
keilmuannya secara luas. Orang mulai mengenal metode meraih kesadaran
akal-budinya melalui filsafat ontologi, ephistemologi, dan aksiologi, tiga langkah metodis yang saling berkorelasi sebagai pisau pengupas rahasia hukum alam yang belum terkuak. Epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan : apakah
sumber pengetahuan? Apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup
pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan?
Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia ?
Epistemologi mempunyai persoalan pokok secara garis besar terbagi dua. Pertama, persoalan tentang apa yang kelihatan (phenomena/appearance) Apakah
sumber pengetahuan? Dari mana sumber pengetahuan yang benar itu datang?
Bagaimana cara diketahuinya? Apakah sifat dasar pengetahuan?. Kedua, versus hakikat (noumena/essence): Benarkah ada realita di luar pikiran kita? Apakah kita mengetahuinya?
Penggabungan kedua metode tersebut membuat suatu kemajuan pesat di bidang kowledge pada zaman renaissance.
Ilmu fisika, kimia, biologi, matematika, ekonomi mengalami perkembangan
sangat pesat. Hal itu menjadi prestasi besar kesadaran manusia mampu
membaca dan mengungkap rahasia-rahasia hukum/rumus/kodrat alam yang
masih tersimpan rapat-rapat sebelumnya. Sesuatu yang pada
abad-abad sebelumnya dianggap tidak masuk akal, bertentangan dengan
hukum alam, pada masa tersebut menjadi sangat rasional, masuk akal dan
tak terbantahkan sebagai wujud temuan baru akan hukum-alam.
Begitulah manusia di belahan Barat bumi dalam dinamika kesadaran dan menemukan hakekat/essence kehidupan (noumena)
di jagad raya ini. Manusia selalu berusaha menjabarkan apa sesungguhnya
alam semesta ini dan bagaimana sesungguhnya ia terjadi. Planet bulan
diketahui memiliki jarak yang sangat jauh dengan bumi, pada zaman dulu pergi ke bulan dianggap hal yang mustahil atau melawan kodrat/hukum alam.
Anggapan pesimis tersebut merupakan bentuk keterbatasan kesadaran akal
budi dalam menterjemahkan rumus atau hukum alam. Sekalipun hal yang
bersifat kasat mata wadag (fenomena) toh tugas menterjemahkan
hukum alam sangat rumit dan teramat sulit. Namun bila diperhatikan
begitu manusia mampu mengungkap rahasia ilmu atau rumus alam semesata
tiba-tiba kita supraise ternyata manusia mampu seolah “melawan kodrat”
hukum alam. Hanya dengan bekal kurang lebih 300 Milyar Rupiah anda sudah
dapat menikmati piknik ke bulan.
Penemuan Bacon meskipun efeknya sangat luar biasa namun menemukan keterbatasan pula ketika
berhubungan dengan nilai-nilai, kematian, jiwa, roh, kenyataan yang
paradoks, Tuhan, realitas yang transenden serta kenyataan yang tidak
bisa dieksperimentasi atau dibawa ke laboratorium. Maka Novum Organum tidak mampu menjawabnya.
Keterbatasan Kesadaran Akal Budi :
Kesadaran tinggi (high consciuousness) diperlukan untuk mengetahui noumena, berupa realitas hakekat atau essence.
Dalam rangka membangun kesadaran tinggi pengetahuan akal budi
kemampuannya sangat terbatas karena terdapat berbagai kelemahan
mendasar. Paling tidak dapat dikemukakan tiga alasan berikut. Pertama, sebatas pengetahuan kognitif (cognitive science). Kesadaran akal-budi semata-mata sebagai bagian dari fungsi otak yang kemudian berkembang (emerge). Kesadaran dalam pendekatan ini mengatakan : “…dipandang sebagai berkembanganya jaringan-jaringan yang terintegrasi secara hirarkis.
Kesadaran adalah sesuatu yang bertumbuh dari kompleksnya jaringan yang
saling terhubung di dalam otak manusia. Kesadaran yang dihasilkan adalah
bersifat obyektif atas apa yang bisa dilihat dengan indera atau fenomena.
Kesadaran model ini sering digunakan untuk menjelaskan akan kejadian
alam yang di dalamnya mengandung rangkaian hukum sebab-akibat. Namun
kita harus menyadari bahwa semua data-data sangat terbatas dengan apa
yang dapat ditangkap oleh indera jasad.
Kedua, sebatas penafsiran subyektif. Melalui instrospeksionisme (introspectionism).
Di dalam pandangan ini kesadaran dipandang sebagai kesadaran orang
pertama yang tertuju pada sesuatu obyek di luarnya. Kesadaran lantas
dilakukan dengan cara penafsiran. Penafsiran terhadap
realitas didasarkan pada kesadaran langsung yang muncul dari pengalaman
sehari-hari dan dialami sendiri dan bukan dari pengamatan obyektif
orang ketiga. Kesadaran akal budi pada taraf ini belum mampu menjawab akan energi metafisika yang melampaui fisika.
Ketiga, bersifat relative-obyektif. Dalam disiplin sosiologi terdapat pendekatan
psikologi sosial. Pendekatan ini melihat kesadaran sebagai sesuatu yang
tertanam pada jaringan makna kultural tertentu. Dengan kata lain kesadaran adalah produk dari sistem sosial yang ada di dalam suatu masyarakat. Sebagai contoh misalnya teori marxisme dan generasinya (marxianism:
sosialisme, komunisme leninisme dan stalinisme). Kapitalisme,
konstruktivisme, dan hermeneutika kultural. Semua pendekatan ini berakar
pada satu asumsi bahwa kesadaran tidaklah terletak melulu di kepala
individu melainkan ditentukan oleh kultur sosial-politik-ekonomi
masyarakat. Masih dalam perspektif sosiologis sistem
kepercayaan masyarakat (agama, ajaran, sistem nilai, kebiasaan,
adat-istiadat, dan tradisi) merupakan bagian dari sistem budaya.
Sekalipun dianggap sebagai bentuk kesadaran tinggi (spiritual) namun nilai-nilai religi tidak lepas dari jaringan makna kultural tertentu. Dengan kata lain masih berada dalam lingkup relative-obyektif.
Hal ini dapat dilihat dari istilah dan bahasa yang terdapat pada
kalimat-kalimat suci, serta ritual-ritual atau kegiatan seremonial
keagamaan yang kental dengan sistem budaya tertentu. Termasuk
nilai-nilai sakral dan mistisnya tampak berkaitan dengan legenda dan
sejarah nenek-moyang masyarakat tertentu berupa warisan sistem religi primitif animisme dan dinamisme.
KESADARAN INTUITIF
Menjawab kelemahan Bacon di atas, seorang filsuf P.D. Ouspensky memperkenalkan alat ukur baru yang disebut Tertium Organum. Yakni kebenaran yang bersifat intuitif
yang merangkum keduanya, tesisnya bahwa kenyataan itu harus rasional
dan harus dieksperimentasi. Namun tidak berhenti di situ saja karena di
dalamnya akan terjadi proses perkembangan atau evolusi kesadaran menuju
kesadaran tingkat tinggi (higher consciuousness) untuk memperoleh kenyataan tingkat tinggi (higher reality).
P.D. Ouspensky menyebut temuan metodenya dengan berbagai istilah:
Mistycal Locic, Extase Logic, Paradoxical Logic. Sebuah metode sebagai
upaya yang pasti menuju kebenaran kenyataan yang esensial (noumena). Tampaknya Ouspensky memiliki kesadaran bahwa realitas di luar rasio
belum tentu sebagai sesuatu ke-tidakbenar-an. Bisa jadi hanyalah
ketidak-tahuan rasio manusia semata sehingga seseorang seyogyanya
membuka diri pada hal-hal yang terkesan irasional sekalipun. Pemikiran
Ouspensky mengajak kita agar selalu berpositif thinking dalam memandang
segala sesuatu yang masih menjadi tanda tanya besar yang seolah tidak
masuk akal atau non-sense. Dengan postulat bahwa manusia itu lebih banyak yang belum diketahui daripada yang sudah diketahui mengenai apa yang terjadi dalam jagad raya. Positive Thinking harus dibarengi dengan sikap ragu-ragu. Namun bukanlah ragu-ragu yang menyepelekan, tetapi ragu-ragu agar menjadi tahu (skeptisisme). Dengan kata lain, Ouspensky secara tidak langsung mengatakan orang yang merasa paling tahu atau merasa diri telah mengetahui banyak hal sesunggunya ia orang yang tidak banyak tahu. Mafhum lah kita mengapa sikap para filsuf besar Yunani tampak paradoksal dengan mengatakan bahwa; semakin banyak tahu, justru dirinya merasa semakin banyak yang tidak diketahuinya.
Teori
intuisi menyebutkan bahwa intuisi atau pengilhaman adalah semacam
penglihatan yang amat tajam. Karena itu penulis-penulis dilihat sebagai
seniman yang memiliki kemampuan berimajinasi atau mengembangkan
perasaannya. Sehingga mereka dianggap genius-genius dalam spiritual. Sementara itu Pengertian intuisi menurut Webster Dictionary
adalah kemampuan manusia untuk memperoleh pengetahuan atau wawasan
langsung tanpa melalui penalaran dan observasi terlebih dahulu. Senada
dengan itu menurut psikolog sosial dan sekaligus pengikut Guru Besar
Psikologi Daniel Kahneman pada Princeton University, David G. Myers (Intuition; Its power and perils; 2002)
pemikiran intuitif itu layaknya persepsi, sekelebat gambaran, dan tanpa
usaha. Kalimat Kahneman yang menjadi pedoman Myers adalah ; ….kami
mempelajari berbagai intuisi, beragam pemikiran dan preferensi yang
mendatangkan pikiran secara cepat tanpa banyak refleksi.
Berangkat
dari kesadaran betapa sulitnya membuat suatu teori dalam ranah intuitif
yang banyak mengandung misteri kehidupan, lebih lanjut Ken Wilber
(dalam: An Integral Theory of Consciousness, 1997) menyarankan agar melakukan pendekatan secara integratif. Setidaknya menempuh dua langkah berikut; Pertama
penelitian yang berkelanjutan di berbagai pendekatan yang sama-sama
ingin memahami fenomena kesadaran manusia. Karena disadari bahwa
eksistensi kesadaran adalah suatu enigma, yakni sesuatu yang misterius. Suatu ke-ada-an di balik realitas fisik (metafisika), beyond side. Masing-masing pendekatan yang telah dijabarkan sebelumnya mampu memberikan sumbangan untuk memahami enigma
ini. Setiap pendekatan penting, dan layak mendapatkan dukungan lebih
jauh untuk mengembangkan penelitiannya. Saran Wilber sangat bijaksana,
namun demikian, pendekatan integral ini lebih terasa sebagai himbauan
moral saja. Ia tidak mengkonsep secara tegas dalam tataran aksiologi sebagai terobosan ilmu pengetahuan.
Dasar
manusia, tak pernah merasa puas akan hasil pencapaiannya maka
dikemukakan lagi pendekatan yang lebih canggih untuk menggali kemampuan
intuisi manusia. Disebut sebagai teori energi-energi halus (subtle energies). Di dalam pendekatan ini, hipotesis penelitian dilakukan dengan berpijak pada asumsi atau pengandaian, bahwa ada sesuatu yang disebut energi kehidupan yang melampaui fisika. Energi ini mempengaruhi kesadaran dan perilaku manusia secara signifikan. Energi ini memiliki banyak nama lain, seperti tenaga dalam, aura, prana, ki, dan chi.
Wilber secara sederhana melihat bahwa energi kehidupan ini merupakan
penghubung antara dunia luar yang bersifat material dengan kesadaran
manusia, dan sebaliknya, yakni dunia kesadaran manusia yang tertuju pada
dunia luarnya.
Meredam Arogansi Ilmiah
Jika
dilihat sekilas beberapa pendekatan di atas terlihat sangat erat dengan
unsur mistik, sehingga tidak jarang kadar ilmiahnya diragukan. Akan
tetapi, paling tidak Wilber menegaskan bahwa fenomena kesadaran itu tidak melulu ilmiah, tetapi merupakan suatu misteri. Maka pendekatan apapun sebenarnya bisa membantu kita untuk memahaminya. Dalam hal ini arogansi ilmiah sedapat mungkin harus dicegah. Saran Wilber tersebut patut dijadikan warning,
betapa pendekatan ilmiah yang bertumpu pada akal dan paca indera saja
seringkali justru membatasi kemampuan manusia dalam mengungkap misteri
kehidupan. Hegemoni arogansi ilmiah justru membuat manusia teralienasi dengan ke-ada-an
misteri kehidupan yang sejatinya. Sama halnya dengan statemen-statemen
“orang suci” yang telah menghegemoni kesadaran intuisi umat manusia
dengan doktrin yang menciutkan hati. Ironis sekali, sebuah
kekeliruan fatal manusia karena ketidakpercayaan akan kemampuan
intuisinya sendiri, hanya karena merasa rasio akal-budi adalah segalanya.
Secara moral agama sikap tersebut juga menafikkan intuisi sebagai
anugrah Tuhan pada diri manusia. Sebaliknya, siapaun yang tertarik
mengembangkan intuisi harus meredam arogansi ilmiah termasuk arogansi dogma-dogma, lalu membuka diri pada hal-hal yang ada di luar rasio atau akal-budi kita. Jika
rasio anda meragukan daya kerja intuisi –bukanlah keputusan yang tepat–
bisa jadi hal itu semata-mata karena akal-budi dan rasio belum terbiasa
menerima serta menyaksikan sendiri kebenaran intuitif yang ada (being)
di luar fikiran kita sebagai kebenaran esensial noumena.
Benar kalimat nenek-moyang bangsa kita, Nggawa latu adadamar. Maka ada satu hal yang harus kita sadari sebagai modal utama untuk membuka kesadaran intuitif kita. Yakni, adanya kesadaran bahwa kecenderungan rasio manusia yang sulit menerima sesuatu yang baru dan terlalu rumit untuk dicerna akal-budi, sekalipun hal-hal bersifat empiris dan rasional bagi orang lain yang telah memahaminya. Terlebih
lagi hal-hal bersifat hakekat yang abstrak dan gaib. Hal ini disebabkan
kurangnya pengalaman pribadi, dan informasi yang lengkap serta sarana
pembanding lainnya, sebagai data komparatif yang akan diolah rasio.
Kesadaran Intuisi Sebagai Sumber Kebenaran
Sekalipun gaib/abstrak, daya kerja intuisi dapat dibuktikan secara logic dan empiris. Hanya saja pembuktian terencana dan empiris lebih sulit dilakukan. Karena pada umumnya intuisi tidak terkelola dengan baik sehingga daya kerjanya hanya bersifat spontanitas saja.
Pembuktiannya juga lebih sering bersifat (seolah-olah) kejadian
spontanitas sehingga dianggap kejadian yang “kebetulan” yang tidak ada
korelasinya. Seorang enterpreneur sejati, seniman
dan orang-orang sukses kadang menggunakan intuisinya untuk memilih mana
orang yang tepat sebagai partner, mencermati peluang bisnis dan
menciptakan kesempatan emas untuk membangun sebuah usaha. Disiplin ilmu
menjadi sekedar alat untuk menggaris bawahi atau menguatkan kebenaran
intuisinya di samping sebagai alat pembuktian secara obyektif. Intuisi adalah awal dari kesadaran kita sekaligus menjadi jurus untuk membuka jalan mana yang tepat dan benar untuk dipilih.
Berbagai tradisi intelektual memperkenalkan teknik mengolah intuisi yang bersifat kontemplatif.
Dalam pandangan ini kesadaran berada pada tingkatan yang lebih rendah
dari yang seharusnya bisa dicapai manusia. Untuk meningkatkan
kesadarannya orang perlu melakukan praktek meditasi dan yoga.
Kesadaran yang sesungguhnya hanya dapat dicapai jika orang melakukan
praktek tersebut secara konsisten. Tak puas hanya dengan melakukan kontemplasi, terdapat pendekatan Psikologi Perkembangan.
Pendekatan ini memandang kesadaran bukan sebagai sesuatu yang tunggal
tetapi sebagai dinamika yang terus berkembang di dalam proses. Setiap
tahap di dalam proses tersebut memiliki perbedaan yang substansial dan
harus dianalisis menurut kekhususannya masing-masing. Pendekatan ini
juga menyentuh perkembangan-perkembangan unik di dalam diri manusia
berupa kemampuan supernatural. Kemampuan ini dianggap sebagai fungsi kognitif, afektif, moral, dan spiritual yang berada di level yang lebih tinggi.
Contoh Bekerjanya Intuisi
Intuisi adalah hal yang sepele namun tak bisa dianggap sepele.
Karena melalui intuisi pula manusia mampu meraih kesuksesan. Dengan
intuisi pula manusia kadang berhasil untuk mengungkapkan rahasia alam
dan kehidupan. Betapa dahulu para ilmuwan diperingatkan jika metode
berkembang biak makhluk hidup melalui cloning adalah sebuah ide atau gagasan non-sense
dan kontroversial karena bertentangan dengan norma agama serta dianggap
bertentangan dengan rumus/kodrat Tuhan (baca: kodrat alam). Namun
demikian riset dan ujicoba tak pernah berhenti hingga al hasil benar-benar membuktikan bila makhluk hidup dapat berkembang biak melalui proses pembiakan/penggandaan unsur genetika milik sendiri.
Sekedar contoh proses diperolehnya kebenaran intuisi terdapat dalam beberapa contoh kasus berikut:
Pada
tanggal 1 bulan Mei 2006, sewaktu duduk berbincang dan diskusi bersama
kawan-kawan, istri tiba-tiba berteriak histeris sambil terkesima, secara
tidak sengaja melihat seperti kelebatan gambaran (view) seolah melihat
“layar tancap” yang berisi “film” kejadian guncangan gempa dahsyat
sekali. Dalam kelebatan tersebut sekilas tampak papan penunjuk arah
tertera tulisan Ke Jl. Parangtritis, Ke Bantul, Klaten, Yogyakarta.
Sehari kemudian jam 18.00 bayangan itu muncul lagi, namun kali ini
sekelebat tertera tanggal “27”. Dalam gambaran itu tampak seolah gempa
terjadi waktu remang-remang, tidak jelas apakah pagi atau sore hari.
Ternyata bayangan itu benar-benar terjadi tanggal 27 Mei 2009. Antara tanggal 1 mei hingga tanggal 26 Mei, status bayangan tersebut belumlah sebagai kebenaran intuisi. Namun ketika gempa benar-benar terjadi persis tanggal dan harinya, barulah bayangan itu menjadi kebenaran intuisi.
Dalam
alur demikian, intuisi diakui sebagai metode pencari kebenaran, sebab
masih tetap membutuhkan verifikasi atau pembuktian sebagai alat
pengujian kebenarannya. Namun berbeda dengan metode ilmiah lainnya
karena dalam metode intuisi kita tidak dapat mendominasi pembuktian intuisi. Posisi kita sebagai obyek intuisi sangatlah determinan, hanya menunggu bukti itu terjadi dengan sendirinya. Selain
itu pembuktian empiris intuisi tidak bersifat instan, terkadang memakan
waktu cukup panjang melibatkan beberapa generasi usia manusia, rentang
waktunya bisa mencapai puluhan hingga ratusan tahun ke depan. Artinya, intuisi menjadi kebenaran setelah menunggu puluhan hingga ratusan tahun yang akan datang. Lamanya pebuktian menjadikan intuisi seolah hanya sebagai omong kosong belaka.
Contoh
lain misalnya; dalam situasi dan kondisi yang teramat darurat anda
harus mengambil keputusan yang sangat fital. Tidak ada waktu
berlama-lama berfikir, tiba-tiba hati anda tergerak, atau bahkan seolah
mendengar “bisikan gaib”, dan hati terasa menemukan kemantaban memilih
salah satu jalan keluarnya. Keputusan tersebut lebih cepat dibandingkan
dengan proses berfikir anda sendiri. Setelah anda mengikuti suara hati
dan “bisikan” tersebut, di kemudian hari anda benar-benar membuktikan
sendiri sebagai keputusan yang paling tepat. Saya yakin, para pembaca
yang budiman pernah mengalami kejadian serupa.
Bekerjanya intuisi kita biasanya dimulai dari kasus-kasus sederhana.
Sebagai contoh misalnya: anda tiba-tiba merasakan keinginan kuat dari
dalam lubuk hati untuk menelpon teman anda yang lama tak ada kabar
berita. Setelah anda menelpon ternyata teman anda sedang mengharapkan
bantuan anda. Contoh lain misalnya anda tak tahu entah alasan apa namun
merasa ingin sekali kembali ke rumah. Ternyata sampai di rumah anda
mendapati seorang pencuri mencoba masuk ke rumah anda. Anda bebas
mengartikan intuisi anda sebagai ilham, ataukah nurani, bisikan gaib,
karomah, wangsit, laduni atau sasmita. Ilustrasi yang lain, misalnya
anda sedang memikirkan seseorang, tiba-tiba orang yang bersangkutan
menelpon atau mengunjungi anda. Jika anda mengelola intuisi bukanlah hal
yang sulit untuk menggali potensi besar anda yang masih tersimpan.
Tidak mengherankan bila suatu waktu anda dapat menyaksikan warna-warna
metafisik berupa warna-warna aura seseorang hanya dengan mata wadag
anda. Lebih dari itu anda dapat menjawab teka-teki (enigma), semakin
mudah menyaksikan eksistensi gaib (noumena) di sekitar anda.
Semua masih dalam lingkup daya kerja instrumen jiwa yang bernama intuisi disebut pula six-sense.
Alat detektor makhluk halus yang dulu dianggap mustahil diciptakan,
akhir-akhir ini manusia-manusia di negara-negara maju seperti Jepang,
Jerman dan Amerika dengan pemberdayaan intuisinya berhasil memperoleh
temuan baru (discovery) dengan ditemukan alat pendeteksi hantu
atau roh. Di negara-negara maju dengan bimbingan intuisi satu misteri
kehidupan telah berhasil diungkap bersama teknologi modern. Bahkan
apa yang dilakukan para sastrawan dan pujangga nusantara di masa lalu
berhasil membuat prediksi-prediksi besar dan satu demi satu sudah
terbukti merupakan metode yang jauh lebih canggih dari alat-alat dan
metode ilmiah paling kontemporer sekalipun. Hal itu menunjukkan kesadaran tinggi manusia (higher consciuousness)
tidak sekedar spontanitas semata, namun semakin dapat dibuktikan secara
ilmiah dan memenuhi syarat menjadi kenyataan obyektif yang diakui
sebagai salah satu metode memperoleh kebenaran.
Pertanyaannya;
Mungkinkah suatu saat ditemukan kamera canggih yang dapat mengambil
gambar wujud roh ? Tidak tertutup kemungkinan ! Mungkin sudah menjadi
kodrat/rumus Tuhan bahwa perkembangan kesadaran intuisi (batin) manusia berkembang lebih pesat jauh meninggalkan kesadaran akal-budi.
Dari contoh-contoh di atas tampak bahwa intuisi bekerja secara misterius, kesadarannya dapat melampaui kecepatan kesadaran akal-budi.
Pembuktiannya seringkali tidak bersifat instan. Sehingga kebenaran
intuitif kadang sulit diterima akal-budi. Sekalipun menolak intuisi
suatu waktu anda dipaksa juga harus mengakui intuisi anda sendiri
setelah terjadi peristiwa spontan sebagai pembuktian tak terbantahkan.
Lain halnya bagi siapa saja yang sudah terbiasa mengalami dan
membuktikan kebenaran intuisi yang dulu berada di luar fikiran menjadi
biasa dan tidak aneh lagi. Betapa intuisi mampu “memaksa” alam semesta
untuk membuka segenap enigma sebagai noumena, kebenaran esensial yang terjadi di luar kesadaran rasio manusia.
Pemberdayaan Intuisi a la Timur
Intuisi sering bersifat spontan disebut pula sebagai given
(anugrah dari Tuhan) yang kedatangannya tak dapat kita jadwalkan.
Meskipun demikian intuisi dapat dikelola agar dapat dikendalikan dan
diatur kapan kita ingin memanfaatkan intuisi. Upaya ini berfungsi
mengubah intuisi spontan menjadi kesadaran tetap.
Javanese Tradition
Manusia memiliki kecenderungan ontologis untuk selalu berupaya mencapai kesempurnaan dengan mengetahui kasunyatan
(kebenaran sejati). Salah satu upaya tidak saja bersifat rasional
(akal-budi) dan empiris (pengalaman jasad) namun merambah dalam unsur rasa di luar jasad (six-sense). Dengan mengasah intuisi atau pemberdayaan indera (ke-enam) sebagai indera perasa kita yang ada dalam rasa sejati (bukan indera perasa jasad). Setiap orang memiliki rasa sejati sebagai indera ke-enam (six sense). Namun demikian six sense kita ibarat masih terbungkus kulit yang tebal. Untuk memberdayakan intuisi maka indera ke-enam terlebih dahulu harus dikupas “bungkus”nya yang bermakna nafsu negatif. Hampir senada, Dr. A Ciptoprawiro (dalam bukunya: Filsafat Jawa; 1986) mencoba menjelaskan intuisi dengan mengatakan kesadaran intuitif melibatkan instrumen dasar manusia berupa perasaan & pengetahuan.
Perlu saya tegaskan di sini dalam konteks perasaan pengetahuan tersebut harus dibedakan dengan perasaan panca indra. Perasaan pengetahuan merupakan perasaan di luar panca indera jasadiah. Dalam spiritualitas Jawa disebut sebagai rahsa sejati atau rasa jati. Untuk mempermudah penggambarannya dapat diperbandingkan dengan arti kata tela’ah, atau berfikir dengan hati. Yakni berfikir secara intutif, dalam terminologi Jawa dikenal sebagai makna dalam ungkapan menggalih (analisa
menggunakan rasa). Dalam suasana yang rumit atau saat menghadapi suatu
persoalan berat, orang Jawa sering mengatakan, akan melakukan ngenggar-enggar penggalih. Sebagai sebuah cara yang akan meningkatkan kesadaran aku kepada kesadaran pribadi. Kesadaran aku atau kesadaran rasa sejati tidak bersifat statis tetapi dapat berubah dinamis apabila diri kita melakukan upaya-upaya peningkatan kesadaran.
Tradisi Jawa mengenal tata cara dan menejemen intuisi yang dapat diumpamakan mengupas bungkus yang menutupi indera ke-enam kita. Yakni antara lain dengan cara semedi, maladihening, mesu budi, tarak brata, tapa brata, dan laku prihatin. “Bungkus” adalah kiasan untuk menggambarkan nafsu negatif atau keinginan jasadiah. Setelah nafsu negatif “dikupas” kemudian akan muncul sensitifitas rahsa sejati, yakni berupa indera ke-enam kita yang menjadi “mata tombak”
mengungkap kebenaran melalui intuisi. Nenek-moyang bangsa kita telah
menemukan dan memberdayakan intuisi ini sejak zaman animisme dan
dinamisme 1500-100 SM jauh sebelum semua agama-agama “impor” masuk ke
bumi nusantara. Tak bisa dipungkiri daya jangkau intuisi mampu mencapai
ruang-ruang gaib dengan menyaksikan noumena, berbagai eksistensi metafisika nan mistis. Justru dalam wahana ruang lingkup mistis inilah intuisi dapat berkembang dengan pesat.
Hingga sekarang metode intuisi telah mengalami kemajuan sangat pesat
khususnya di dalam tradisi dan kebudayaan Jawa yang kental akan mistisism. Inilah sejatinya apa yang disebut para ahli spiritual Jawa sejak era sebelum Majapahit sebagai pemberdayaan rahsa sejati dengan cara: nyidhem rahsaning karep, murih jumedule kareping rahsa. Mengendalikan nafsu, agar intuisi menjadi tajam (waskitha). Betapa pentingnya mengendalikan nafsu sampai-sampai dalam segala lini kehidupan tradisi Jawa selalu disipkan pepéling (pengingat) termasuk dalam tradisi kesenian tembang terdapat gaya pangkur. Pangkur bermakna nyimpang såkå piålå, mungkúr såkå nafsu dur angkårå.
Dalam tradisi Jawa keberhasilan mengolah intuisi dapat dilihat pada kewaskitaan
para Pujangga kita yang mampu menjadi sastrawan, seniman dan futurolog
masyhur seperti ; KGPAA Mangkunegoro IV, Raden Ngabehi Ranggawarsita, P
Jayabaya, RM Sastra Nagara, Mbah Ageng (Ki Metaram) Juru Nujum Sri
Sultan HB IX, KPH Cakraningrat dan masih banyak lagi. Di negara barat
seperti Nostradamus, Jucelino Noberga da Luz dan Franciscoshabiz
(Brazilia), John Naisbitt, Suku Bangsa Maya dll. Berbagai ajaran
spiritual Jawa bertumpu pada kekuatan intuisi masing-masing individu.
Individu dapat mengembangkan sendiri-sendiri semampunya. Sehingga
pencapaian hasilnya berbeda-beda. Ahli spiritual Jawa tidak mengenal
kasta atau derajat pangkat melainkan dapat dicapai siapapun yang “gentur laku” mulai dari wong cilik,
rakyat biasa, petani, seniman, pandhita, usahawan, hingga bangsawan.
Namun biasanya olah spiritual bangsawan masa lalu lebih terkelola secara
rapi dan terorganisir. Hingga sekarang Kraton masih eksis berfungsi
sebagai cagar budaya sekaligus menjadi centrum cagar spiritual hasil “olah batin” para leluhur bumi nusantara.
Pada
saat ini ilmu yang tersimpan di dalam kraton telah dipublikasikan
melalui berbagai gubahan, buku-buku kajian budaya dsb. Paling tidak
terdapat suatu nilai ajaran yang penting diperhatikan yakni prinsip dalam spiritual Jawa memandang bahwa perbedaan pemahaman spiritual menjadi hal yang sangat lazim dan ditoleransi.
Dalam tradisi Kejawen tidak dikenal kitab suci, nabi, habib, orang suci
dsb karena adanya pemahaman bahwa masing-masing orang telah dibekali
kemampuan intuitif sejak lahir sebagai talenta untuk menemukan kebenaran sejati.
Lagi pula ajaran spiritual Jawa membahas masalah esensi atau hakekat
yang berada dalam ruang universalitas nilai. Tidak diperlukan
pelembagaan sebagaimana agama-agama di muka bumi. Karena pelembagaan
akan beresiko fragmentasi, terkotak-kotak terbatas dalam ruang yang
sempit. Konsekuensinya adalah luasnya ruang spiritual dalam wahana batin
terjebak pada ruang fisik yang sempit dan penuh keberagaman jasad.
Dalam tradisi spiritual Jawa dikenal istilah ilmu padi, semakin tua semakin berisi, dan semakin merunduk. Disebut juga ngelmu tuwa, yang berhasil meraihnya disebut “uwong tuwa” atau sesepuh. Yang tua bukan fisik atau usianya tetapi ilmunya atau ngelmune tuwa atau orang yang tinggi ilmunya. Maka sejatinya orang yang berilmu tinggi justru semakin rendah hati, berlagak seolah bodoh (mbodoni), namun tetap sopan dan santun berhati-hati dalam berbuat dan berucap. Jika berhadapan langsung pun kadang
justru tampak bodoh tak bisa ditebak, misterius, tidak bisa
disangka-sangka dan diduga-kira ketinggian falsafah hidupnya.
Bagi
yang enggan atau tidak sempat mengolah intuisi bukan berarti gagal
total, selama ia masih mau membuka diri dan selalu berpositif thinking. Hanya saja ia tidak dapat menyaksikan langsung kedahsyatan eksistensi beyon side, eksistensi yang ada di luar akal-budi kita (noumena). Setiap orang sebenarnya mudah mengembangkan intuisi dalam diri. Asal mau membiasakan diri ; memperhatikan, mencermati, dan merasakan getaran dalam hati paling dalam, yang tak bisa dipungkiri atau ditolak.
Intuisi mengirim getaran sinyal ke dalam hati pada detik-detik pertama,
selanjutnya adalah imajinasi yang akan mendominasi akal budi kita.
Imajinasi tidak bisa dipercaya karena memuat segala angan dan khayalan
keinginan jasad (rahsaning karep). Sedangkan getaran intuisi dalam hati
disebut pula sebagai hati nurani (kareping rahsa).
Jika diurutkan cara bekerjanya intuisi adalah sebagai berikut :
rahsa sejati (kareping rahsa) — sukma sejati (guru sejati) — getaran hati (nurani) – intuisi — respon otak (imajinasi)
Bandingkan dengan kronologi nafsu berikut ini :
obyek yang menyenangkan –- panca indera –- hati -– respon otak (imajinasi atau perencanaan pemenuhan hasrat/keinginan jasad)
Kesadaran
Dalam
ilmu Jawa dikenal beberapa tingkatan kesadaran manusia. Diurutkan dari
bawah yakni; (1) Jasad, (2) akal-budi, (3) nafsu, (4) roh, (5) rasa
(indera ke-enam), (6) cahya, (7) atma. Intuisi setara dengan
kesadaran urutan ke lima. Dilihat dari tingkat kesadaran ini manusia
dibedakan ke dalam dua kelompok: yakni orang pilihan, dan orang awam.
Orang Awam (kesadaran lahiriah)
Untuk menunjuk tingkat kesadaran seseorang yang mencapai taraf kesadaran jasad, akal-budi, dan nafsu. Dalam tataran ini seseorang masih dapat memahami nilai sopan santun, kearifan, dan kawicaksanan. Namun seseorang belum sampai pada menyaksikan langsung (nawung kridha) atau wahdatul wujud, sebaliknya pengetahuannya hanya berdasarkan ajaran yang tertulis (teksbook, referensi) dan dari mulut ke mulut, kulak jare adol jare, ceunah ceuk ceunah,
serta yang tak tertulis namun masih dapat disaksikan melalui panca
indera jasad, misalnya berbagai macam fenomena atau gejala alam.
Kesadaran yang melibatkan unsur cipta, rasa, karsa. Namun ketiganya bukanlah pengalaman batin sendiri.
Orang Pilihan (kesadaran batiniah)
Untuk
memilah seseorang yang telah mencapai kesadaran batin yang meliputi
kesadaran jiwa atau kesadaran roh, kesadaran rasa sejati, kesadaran
cahya, dan kesadaran atma. Tataran kesadaran ini dalam terminologi Jawa
lazim disebut Nawung Kridha atau orang yang berbudi-pekerti luhur, lazim pula disebut orang yang memiliki tingkat spiritual tinggi. Semakin tinggi spiritualitas seseorang berarti tingkat kesadarannya semakin tinggi pula. Disebut juga sebagai satu mungging rimbagan, yakni orang yang telah mencapai kesadaran spiritual dengan ditandai pencapaian tataran curiga manjing warangka, atau dwi tunggal (loroning atunggil), pamoring kawula Gusti, atau manunggaling kawula Gusti. Dalam agama Budda kurang lebih sepadan dengan orang yang menggapai hakikat Nirvana, sedangkan dalam terminologi Latin sebagai Imago Dei, sementara istilah mistis Arab disebut sajjaratul makrifat yakni orang-orang yang wahdatul wujud. Kesadaran seseorang pada tataran ini dalam memahami hakekat “setan”, surga, dan neraka tidak sama pada umumnya Orang Biasa. Bagi orang pilihan ia akan berani mati sajroning ngaurip (mati di dalam hidup). Artinya nafsu keduniawian atau nafsu jasadiah (rahsaning karep) dimatikan, sedangkan yang hidup adalah rasa sejati (kareping rahsa). Kegiatan ini umpama mengolah lahan gersang menjadi lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya six-sense kita.
Beberapa Tipe Orang Pilihan
KRT. Ronggo Warsito dalam karyanya suluk Pamoring Kawula Gusti, berkaitan dengan tingkat kesadaran ini, memilah manusia menjadi tiga tipe yakni :
1.Tipe Etis ;
yakni kemanunggalan antara kawula dengan Gusti, hasilnya adalah waskita dan susila anor raga. Orang pilihan
tipe etis telah mampu megharmonisasi antara batin dengan perbuatannya.
Kemanunggalan manusia setelah melebur ke dalam Zat Tuhan ini digambarkan
dalam cerita wayang dengan lakon Wisnu Murti, yakni Prabu
Kresna masuk ke dalam tubuh Dewa Wisnu. Atau sebaliknya, Zat Tuhan yang
melebur di dalam manusia digambarkan dalam lakon wayang Bimasuci, tatkala Dewaruci merasuk ke dalam tubuh Sena. Penggambaran akan manusia yang menguasai kesadaran triloka yakni alam gaib, kesadaran alam batin, dan alam wadag. Istilah yang digunakan dalam mistis Islam disebut rijalul gaib.
2.Tipe Kosmologis ;
yakni
olah lahir dan olah batin seseorang melebur dalam kosmos universal dan
mengeliminasi egoisme atau individualitas. Orang pilihan tipe kosmos
mencapai high consciuousness dengan cara membebaskan diri dari belenggu alam empiris materiil.
Tindakan pembebasan dari belenggu alam empiris materiil menuju pada
eksistensi transenden. Dalam keadaan ini kesadaran seseorang meningkat dari kesadaran diri materiil, menjadi kesatuan mutlak sebagai bentuk kesadaran rahsa sejati, yakni pemahaman akan kebenaran sejati pada kehidupan ini. Batin kita akan menjadi batin patipurna; batin yang bebas dari polusi, halusinasi, dan imajinasi jasad (akal-budi) semata. Maka secara emanatif manusia digambarkan akan kembali ke asal muasalnya yakni ke dalam hakekat cahya sejati nan suci. Inilah nilai tradisi Kejawen dalam wahana dimensi vertikal dengan yang transenden yakni; sangkan paraning dumadi. Asal dan tujuan manusia adalah Zat Mahamulya (adi kodrati/ajali abadi). Dalam spiritual Jawa dikenal alam kelanggengan
nan suci, atau alam kasampurnan sejati yakni tempat
berkumpulnya/kembalinya arwah para leluhur yang berhasil mensucikan diri
semasa hidup di dunia. Dengan berbekal kesuksesan mensucikan diri akan
menjadi modal utama yang menempatkan roh berada dalam wahana cahya
sejati (disebut pula nurulah). Asal roh adalah hakekat cahya yang suci
maka roh harus kembali dalam kondisi cahya suci pula. Inikah yang
sebenarnya sebagai hakekat “malaikat” ? silahkan anda telaah sendiri.
3. Tipe Teologis ;
Tipe
ini banyak kemiripan dengan tipe kosmologis hanya saja terdapat
perbedaan mendasar dengan adanya istilah-istilah yang berasal dari kitab
suci atau ajaran nabi. Pada tipe kosmologis terbuka untuk diperdebatkan
secara rasional locic sebagaimana tradisi Kejawen. Sedangkan
tipe teologis sangat tertutup bagai monumen sejarah. Sikap kritis sering
dianggap menentang, melecehkan dan sesat. Terkesan tipe teologis hanya
membutuhkan keyakinan saja. Dari rasa yakin lalu menjadi percaya.
Penilaian terhadap kesadaran intuitif manusia, kadang diasumsikan
sangat berbahaya mudah tergelincir oleh “bisikan setan”. Resikonya agama
akan mengalami stagnansi bagai monumen sejarah yang untouchable makin lama kian lapuk dan ditinggalkan manusia ultramodern.
Tradisi ilmiah beberapa filsuf, sejarawan, antropologi, sosiologi,
arkeologi, memandang agama sebagai tipe kesadaran kosmologis manusia
masa lampau, yang telah dilembagakan sebagai sistem religi masyarakat
tertentu. Dan sistem religi ini dalam perspektif psikologi sosial merupakan bentuk kesadaran relative obyektif sesuai dengan sistem sosial budaya masyarakat di mana suatu agama dahulu dilembagakan.
Ngelmu Kasampurnan
Ujung dari proses perkembangan kesadaran manusia adalah diraihnya kesempurnaan hidup (ngelmu kasampurnan), atau ilmu kesempurnaan, wikan sangkan paran. Filsafat hidup yang termuat di dalam Ngelmu kasampurnan adalah gambaran kesadaran tertinggi manusia (highest consciuousness). Maka dalam istilah Jawa ilmu kasampurnan disebut pula ilmu kasunyatan, ilmu tuwa, ilmu sangkan paran.
Hampir sepadan dalam tradisi mistis Islam disebut makrifat. Idiom Jawa
memiliki banyak istilah untuk menggambarkan manusia yang berhasil
menggapai ilmu kasampurnan, yakni; jalma limpat seprapat tamat, jalma sulaksana waskitha (weruh) sadurunge winarah.
Artinya seseorang yang memahami kebijaksanaan hidup dan memiliki
kemampuan mengetahui peristiwa-peristiwa di luar jangkauan ruang dan
waktu serta di luar kemampuan akal-budi (kawaskithan). Pedoman hidup atau kebijaksanaan yang dihayati adalah ; wikan sangkan paran, mulih mulanira, dan manunggal. Memahami asal muasal manusia, kembali kepada Hyang Mahamulya, dan manunggal ke dalam kesucian Zat.
Pencapaian kesempurnaan hidup dalam serat Wedhatama disebut sebagai pamoring suksma, roroning atunggil. Menurut serat Wedhatama karya KGPAA Mangkunegoro IV, ilmu kasampurnan disebut pula sebagai ngelmu nyata, ngelmu luhung atau akekat. Cara pencapaian kesadaran tingkat tinggi ini, di capai melalui empat tahapan sembah, atau catur sembah; yakni sembah raga, sembah cipta/kalbu, sembah jiwa/sukma, dan sembah rasa, dan meraih rahsa sejati (lihat thread; Serat Wedhatama). Wedha adalah petunjuk atau laku/langkah, Tama
adalah utama atau luhur/mulia, yakni ilmu tentang perilaku utama atau
budi pekerti yang luhur. Dalam serat Wedhatama mencakup ajaran perilaku
ragawi yang kasad mata (solah tingkah), perilaku hati, dan perilaku batin (bawa/perbawa) yang meliputi jiwa dan rahsa. Dalam rangka menggapai kesempurnaan hidup hendaknya
ke-empat perilaku tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh. Sehingga
secara garis besar terbagi menjadi dua bentuk kesatuan perilaku lahir
dan batin. Keduanya harus dibangun dalam wujud korelasi yang
harmonisasi, sinergis antara perbuatan lahir atau solah, dan perbuatan batin atau båwå. Wujud solah akan merefleksikan keadaan båwå dalam batin, namun kesadaran båwå juga termanifestasikan ke dalam wujud solah. Apabila tidak terjadi sinkronisasi antara solah dan båwå, yang terjadi adalah sikap inkonsisten, kebohongan, mencla-mencle
atau plin-plan. Dalam ranah agama disebut sebagai sikap munafik.
Sebaliknya indikator manusia yang telah memperoleh kesadaran tinggi
(spiritual) dalam lingkup ngelmu kasampurnan dapat dicermati tingkat pemahamannya yang termanifestasikan dalam beberapa barometer berikut ini ;
1. Madu Båså
Meliputi
adab, sopan-santun, tata cara, kebiasaan mengolah tutur kata dalam
pergaulan. Madu adalah manis, bukan berarti konotasi negatif seseorang
yang gemar bermulut manis. Namun maksudnya adalah seseorang yang mampu
membawa diri, mawas diri atau mulat sarira. Kata-kata yang
tidak menyakitkan hati orang lain. Ucapan yang menentramkan hati dan
fikiran. Tutur kata yang bijaksana, bermutu atau berkualitas, dan selalu
menyesuaikan pada keadaan dan lawan bicara. Maka dikatakan ajining diri kerana lathi.
Kehormatan atau harga diri seseorang tergantung pada apa yang ada dalam
ucapannya. Dalam pribahasa Indonesia terdapat tamsil berupa peringatan
agar mewaspadai mulut kita, “mulutmu harimau mu”. Madu Basa adalah
seseorang yang pandai mengolah kata sehingga dalam menyampaikan
kritikan, penilaian, protes dan nasehat mampu menggunakan bahasa yang
simple, mudah dipahami, tidak menyinggung perasaan orang lain dan mudah
diterima oleh orang yang dituju. Itulah bahasa akan menjadi “madu” tergantung pada kemampuan kita memadu bahasa. Ibaratnya ikan dapat ditangkap dan airnya tidak menjadi keruh.
2. Madu Råså
Meliputi empan papan, tepa selira, unggah ungguh, iguh tangguh, tuju panuju, welas asih, kala mangsa, duga prayoga.
Madu rasa adalah bentuk kesadaran tinggi atau kesadaran batin (SQ).
Termanifestasikan dalam rasa kasih sayang yang tulus kepada sesama,
tanpa membedakan suku, agama, warna kulit, golongan, pandai-bodoh, kaya
miskin, drajat pangkat. Sebuah kesadaran batin yang mampu memahami bahwa
derajat manusia adalah sama di hadapan Sang Pencipta. Perbedaan
kemuliaan hidup seseorang ditentukan tingkat kesadaran lahiriah dan
batiniahnya, serta ditentukan oleh perilaku dan perbuatannya apakah
bermanfaat atau tidak untuk sesama. Seseorang yang menghayati madu rasa, mampu ngemong (mengendalikan) gejolak nafsu diri sendiri, maupun ngemong gejolak nafsu orang lain. Keadaan mental seseorang madu rasa,
memiliki kematangan, tangguh, ulet dan tekun, bertekad kuat, gigih dan
tidak mudah putus asa, segala sesuatu terencana secara matang,
memperhitungan segala resiko. Cermat, cakap, tanggap, empatik dan peduli
lingkungan.
3. Madu Bråtå
Pertama, meliputi sikap eling dan waspadha, eling terhadap sangkan paraning dumadi, dan waspadha terhadap segala hal yang menjadi penghambat upaya mencapai nglemu kasampurnan. Kedua, madu brata diistilahkan pula keberhasilan sikap sebagai nawung kridha. Untuk menyebut seseorang yang dapat menyaksikan sendiri bahwa dalam menempuh kemuliaan hidupnya diperlukan kesadaran lalu memahami akan karakter, sifat-sifat, tabiat alam, gejala dan tanda-tanda kebesaran Hyang Maha Mulya yang sangat beragam. Madu brata, “madu”nya perilaku dalam menjalani kehidupan ini. Terletak pada kesadaran bahwa manusia sebagai jagad kecil, dan alam semesta sebagai jagad besar
memiliki hubungan yang harmonis dan sinergis. Namun demikian manusia
lah yang harus pandai beradaptasi dan sensitif dalam merespon gejala
alam. Madu bråtå sepadan dengan sikap hamemayu hayuning bawånå. Ketiga, pangastuti dan rasa sejati yang dimilikinya dapat dimanage dengan baik, bukan lagi menjadi alam bawah sadar namun telah berhasil membangkitkan kesadaran mutlak yang mampu meredam watak sura dira jayaningrat melebur dalam pangastuti. Seseorang memiliki daya batin yang jinurung ing gaib, yakni sejalan dengan rumus Tuhan yang terangkum dalam hukum alam, atau kodrat alam lahir maupun alam batin sebagai “bahasa” dari kodrat Ilahiah. Maka Idune idu geni (ludahnya ludah api), kehendaknya adalah kehendak Tuhan, sehingga apa yang diucap terwujud (sabda pendhita ratu).
Senada dengan serat Wedhatama, dapat dilihat dalam Filsafat Widyatama, terdapat dalam suluk Sukma Lelana, karya KRT Ronggo Warsito. Di dalamnya terdapat ajaran tentang Widyatama atau ajaran tentang lakutama,
yakni perilaku utama, atau budi pekerti yang luhur. Dikemas dalam
bentuk seni sastra dan budaya lainnya yang mengandung nilai filsafat
kehidupan adiluhung, dalam rangka meraih kearifan dan kebijaksanaan hidup (ngudi kawicaksanan), serta mengupayakan kesempurnaan hidup (ngudi kasampurnan). Di dalamnya diungkapkan beberapa tataran kesadaran manusia, yakni kesadaran jasad, kesadaran batin dan tentang kesempurnaan (kasampurnan). Orang yang ngudi kawicaksanan dan kawaskitan disebut sebagai seorang jalma sulaksana.
Kemampuan Hewan dengan Manusia
Mengulas
tulisan dari awal hingga akhir tampak perbedaan tingkat kesadaran yang
amat jauh antara naluri dengan intuisi. Dalam dunia hewan naluri sebagai
alat utama yang mampu menjaganya tetap berada pada jalur kodrat alam
atau kodrat Sang Pencipta jagad raya. Sedangkan manusia yang hanya
berbekal kemampuan akal yang tinggi akan lebih sulit menempatkan diri
pada jalur hukum alam atau kodrat Tuhan. Hal ini sekilas tampak
paradoksal namun kenyataannya demikian adanya. Karena di satu sisi akal
manusia keberadaannya di dalam bungkusan nafsu. Resikonya adalah
penguasaan nafsu atas jiwa (lihat thread; Mengenal Jati Diri; Hakekat Neng ning nung nang).
Di sisi lain otak manusia dapat berubah menjadi sumber imajinasi yang
keliru, resikonya berupa salah tafsir, salah sangka, salah duga, salah
kira.
Jalan
satu-satunya menyelamatkan diri adalah peningkatan akan kesadaran,
sehingga mudah memilah mana kebenaran sejati mana kepalsuan. Jika
manusia tidak memiliki tingkat kesadaran yang layak manusia beresiko
tinggi mendapat malapetaka kehidupan karena secara sadar atau tidak
dapat terjebak nafsu ragawi dan imajinasi akal yang palsu. Akal sering
dibangga-banggakan manusia karena diyakini mampu mengangkat derajat
kemanusiaannya. Terlebih lagi manusia mengklaim diri dengan dimilikinya
akal menjadikannya sebagai makhluk paling sempurna. Tapi jangan gegabah,
akal bagaikan pisau bermata dua. Mata yang
satunya dapat memuliakan manusia, mata yang satu lagi sebaliknya dapat
menyebabkan sebuah malapetaka besar manusia menjadi makhluk paling hina
di dunia.
Dalam
konteks demikian tentunya hewan lebih merdeka dibanding manusia, karena
hewan terbebas dari segala tanggung jawab atas kemampuannya. Sebaliknya
manusia terbebani untuk memper-tanggung-jawabkan atas segala kemampuan,
kelebihan dan kesadaran yang dimilikinya. Hewan tidak punya pilihan
sedangkan manusia memiliki berjuta pilihan. Salah memilih resikonya
adalah malapetaka di dunia maupun setelah ajal tiba.
Tidak ada orang pandai yang tidak pernah salah,
Tidak ada orang bodoh yang tidak pernah benar.
Satu kebenaran intuitif seseorang
bagaikan satu bintang di antara trilyunan bintang
Sedangkan kemampuan manusia mengungkap kebenaran intuitif
Tidak sebanyak jumlah manusia di bumi
Apalagi sebanyak bintang di langit
No comments:
Post a Comment