NGELMU WUKU: HOROSCOPE JAWA SARANA BAGUS INTROSPEKSI DIRI
Sejarah Wuku
Wuku adalah perlambang dari sifat-sifat manusia yang dilahirkan pada hari-hari tertentu seperti layaknya horoskop atau perbintangan yang kita kenal. Adapun maksud dan tujuan diciptakan wuku oleh para leluhur Jawa ,adalah untuk mengetahui karakter manusia pada sisi kebaikkan dan keburukkannya ,saat-saat sialnya, dan doa penangkal dan keslamatannya.
Adapun sejarah asal-usulnya wuku yang berjumlah 30 macam sebagai berikut :
Di ceritakan ada dua putri bersaudara yang bernama dewi Shinta dan dewi Landep, dua-duanya diperistri oleh seorang pandita yang bernama resi Gana., resi Gana ini adalah putra ari bethara Temburu dalam ceritanya dalam memperistri dua putri tersebut, resi Gana belum mendapatkan putra dan cintanya dikarenakan usianya yang sudah tua serta berburuk rupa, pada suatu malam karena cinta kasihnya pada salah satu istrinya ( dewi shinta ) sang Resi mendapatkan kekecewaan karena perilaku sang dewi Shinta tersebut.
Sehingga menyebabkan sang Resi menjadi muksa ( menghilang secara gaib). Pada saat itu sang Resi sempat mengucap / bersabda kepada dewi Shinta “ Pada suatu kelak nanti wiji yang tertanam dalam rahimnya akan menghasilkan anak laki-laki agar diberi nama “
Raden Watu Gunung “ Singkat cerita dewi Shinta akhirnya hamil dan mendapatkan seorang anak laki-laki yang diberi nama seperti sabda tersebut, sang bayi menjelang akhir dewasa nafsu makannya luar biasa / tidak lumrah seperti bayi-bayi yang lain, hingga pada sutau saat ketika dewi Shinta menanak nasi Raden Watu Gunung menangis sesenggukan, saking kesalnya dewi Shinta memukul dengan entong ( sendok nasi ) kemudian Watu Gunung kecewa sekali lalu pergi tanpa pamit.
Setelah selesai menanak nasi dewi Shinta mencari putranya, akan tetapi tidak pernah ketemu. Saking susah hatinya dewi Shinta dibantu dewi Landep bertapa di pedepokan ( rumahnya ) dalam pertapaannya akhirnya dua putri tersebut mendapatkan kesaktian yang luar biasa, sehingga banyak pandita-pandita yang lain banyak belajar ilmu dan ingin melamarnya. Tetapi semuanya ditolak, bahkan ada seorang resi yang sangat sakti pun yaitu Resi Tama bahkan ingin memaksanya untuk memperistrinya. Hal ini mengakibatkan dua putri tersebut lari tunggang langgang, inipun masih dikejar resi Tama. Para Pandita yang lain mendaptkan kabar ini akhirnya berbalik menjadi belas kasihan dan akhirnya memburu sang Resi Tama. Dalam peperangan sang Resi Tama dapat mengalahkan semua resi-resi tersebut, bahkan terus mengejar dua putri tersebut sampai ke negara Medangkamulan dengan rajanya Manuk Madewa yang masih berdarah betara Brahma, dengan patihnya berjuluk Patih Citro Dana. Di negara inipun sang Prabu Manuk Madewa juga kasamaran terhadap kecantikan kedua putri tersebut. Sang Putri agaknya mau dengan syarat : “ Bisa mengalahkan sang Resi Tama yang mengejar-ngejar tersebut “ akhirnya dikerahkan bala tentara untuk memerangi sang resi Tama dibawah pimpinan patih Citra Dana, namun dalam peperangan tersebut prajurit dari negeri Medang Kamulam kocar-kacir.
Diceritakan Raden Watu Gunung setelah terpukul oleh entong ( sendok makan ) tersebut sampai di hutan Selo Gringging, luka dikepala akibat pukulan ibunya akhirnya sembuh sendiri dan berbekas. Pada suatu saat Raden Watu Gunung bertemu dengan masyarakat di sekitar hutan tersebut yang sedang mengadakan kendurian atau keselamatan, Raden Watu Gunung ikut dalam selamatan tersebut namun banyak melahap makanan yang disajikan diluar batas kewajaran. Sehingga mengakibatkan kemarahan masyarakat akhirnya dianiaya berramai-ramai, dalam penganiayaan tersebut ternyata Raden Watu Gunung tidak merasakan kesakitan bahkan terus melahap makanan yang tersaji, hal ini mengakibatkan keheranan masyarakat yang akhirnya malah sang Raden Watu Gunung dijadikan Raja diwilayah tersebut, bahkan dibuatkan keraton dan diangkat raja dengan gelar Prabu Watu Gunung. Pada suatu ketika sang Prabu mendengar cerita bahwa di negara Medang Kamulan terjadi peperangan yang disebabkan seorang Resi Tama sedang memperebutkan dua orang putri yang cantik jelita, sehingga Prabu Watu Gunung pun ingin ikut memperebutkannya. Akhirnya Prabu Watu Gunung bertolak ke negara Medang Kamulan lalu berhadapan langsung dengan sang Resi Tama. Bahkan akhirnya dapat mengalahkan Resi Tama. Namun ketika Resi Tama dapat dikalahkan Raden Watu Gunung, yang terdengar kabar di istana Medang Kamulan adalah patihnya yang bernama Citra Dana dalam perjalanannya menuju ke istana sang patih tersebut dielu-elukan, bahkan sang Prabu Manuk Madewa ikut membangga-banggakan atas kesaktian patihnya. Hal ini terdengar oleh Prabu Watu Gunung, yang menyebabkan kekecewaannya.
Singkat cerita terjadi peperangan lagi antara Prabu Watu Gunung dengan Prabu Manuk Madewa yang akhirnya Prabu Manuk Madewa tewas. Dan akhirnya menjadi raja di Medang Kamulan yang kemudian kerajaan tersebut diganti nama negara Giling Wesi, bahkan dua orang putri tersebut diangkat sebagai permaisurinya. Diceritakan lagi setelah istri sang Prabu Watu Gunung, dewi Shinta melahirkan putra yang selalu kembar sampai 13 kali ( kecuali yang nomor 14 ) sehingga jumlah putra sang prabu 27 :
1. Raden Wukir kembar dengan Raden Kurantil
2. Raden Tolu kembar dengan Raden Gumbreg
3. Raden Warigalit kembar dengan Raden Warigagung
4. Raden Djulungwangi kembar dengan Reden Sungsang
5. Raden Galungan kembar dengan Raden Kuningan
6. Raden Langkir kembar dengan Raden Mandasija
7. Radem Djulungpujud kembar dengan Raden Pahang
8. Kuruwelut kembar dengan Raden Marakeh
9. Raden Tambir kembar dengan Raden Madangkongan
10. Maktal kembar dengan Raden Wuje
11. Raden Manail kembar dengan Raden Prangbakat
12. Raden Bala kembar dengan Raden Wugu
13. Raden Wajang kembar dengan Raden Kuwalu
14. Raden Dukut tidak kembar
Singkat cerita pada suatu ketika dewi Shinta diperintahkan untuk mencari kutu di kepala Sang Prabu Watu Gunung, betapa terkejutnya sang dewi Shinta melihat bekas luka kepala sang prabu, yang mengingatkan kejadian putranya di waktu dulu, sang prabu bahkan sempat menceritakan asal muasal luka tersebut, yang ternyata dewi Shinta adalah ibunya sendiri terjadilah keharuan yang luar biasa, betapa berat cobaan hidup ini, dan betapa memalukan kejadian ini. Sehingga diniatkan jangan sampai rahasia ini diketahui orang lain, sambil menangis dewi Shinta berkata “ Sababing Karuna Ajalaran Saking Kepengine Duwe Maru Widodari Kahyangan “ yang artinya tangisnya dikarenakan keinginan untuk mengawinkan anaknya dengan sang bidadari kahyangan. Dikarenakan keterlanjuran cintanya pada sang dewi Shinta sang Prabu mengumpulkan semua putranya dan memerintahkan prabu Raden Prangbakat untuk naik ke kahyangan bertemu dengan Bathara Guru lalu memohon seorang bidadari bernama dewi Sri untuk diperistri sang Prabu dengan cara tebak-tebakan.
Diceritakan di kahyangan: Djunggring Salaka Sang Hyang Guru : Resi Narada didatangi oleh Raden Prangbakat atas pesan bapaknya : dengan membawa dua buah ayam peking dimana Bathara Guru (putra Bathara Wisnu) dipersilahkan menebak mana yang jantan dan mana yang betina. Bathara Wisnu menjawab “yang betina adalah yang bertelinga bolong dan yang jantan yang bertelinga mampat”. Namun dalam ceritanya di kahyangan niat Watu Gunung dianggap merusak tatanan wilayah kahyangan kemudian Bathara Wisnu memimpin untuk (Ngluruk)-mendatangi sang Prabu di Gilingwesi akhirnya terjadilah peperangan para dewa dengan sang prabu didahului dengan perang putra-putra sang prabu yang dikepung oleh pasukan para dewa. Dalam peperangan tersebut yang dipimpin oleh Prabu Watu Gunung sendiri ternyata sulit dikalahkan. Akhirnya Bathara Wisnu mencari tahu kelemahan sang prabu dari putranya sendiri yaitu Raden Srigati yang kemudian Raden Srigati mengutus Wil Awuk sebagai mata-mata untuk mengetahui kelemahan Watu Gunung. Wil Awuk merubah dirinya menjadi ular kecil (ulo kisi) diceritakan Wil Awuk berhasil masuk ke tempat pelaminan sang prabu yang pada saat itu sedang menceritakan tentang kesaktiannya kepada sang dewi Shinta yang disana sempat diceritakan tentang rahasia kelemahan sang prabu dimana hari naasnya jatuh pada hari anggara kasih jam 12 siang (bedug awan) yaitu pada hari yang sama saat kelahiran Raden Galungan yang juga bersamaan saat Watu Gunung mengalahkan Prabu Manuk Madewa. Kelemahan ini akhirnya dipakai oleh Bathara Wisnu untuk menumpas kerajaan Gilingwesi dan akhirnya tumpaslah sudah kerajaan tersebut. Pada akhirnya diceritakan dewi Shinta dan dewi Landep masih hidup dan menangis memohon Sang Hyang Jagad Noto untuk memohon keadilan kemudian turunlah Resi Narada diutus untuk memberitahukan sebab musababnya yang ternyata disebabkan kesalahannya sendiri yaitu memberitahukan kelemannya kepada Sang Dewi Shinta dimana terdengar oleh Wil Awuk.
Sebagai gantinya sang dewi akan dikabulkan permintaannya asalkan tidak meminta hidupnya kembali sang Watu Gunung besarta putranya sedangkan permintaan sang dewi Shinta hanya ingin Watu Gunung dan semua putranya dimaafkan kesalahannya dan masuk surga bersama-sama dengan dewi Landep. Permohonan ini dipenuhi oleh Sang Hyang Jagad dimana urut-urutan masuk surga adalah :
1. dewi Shinta
2. dewi Landep
kemudian diikuti ke-27 putranya yang terakhir Watu Gunung (no 30)
oleh Bathara Wisnu ke tiga puluh nama tersebut dijadikan dasar perhitungan Wuku
WUKU dan KELAHIRAN
Tiap-tiap wuku mempunyai watak sendiri-sendiri. Watak wuku dapat dipergunakan untuk mengetahui dasar watak bayi lahir :
1. Sinta..dewanya sangyang Yamadipati = seperti pendita, wataknya seperti raja, banyak tingkah, keras, bahagia, kaya harta benda. Memanggul tunggul = mempunyai kesenangan hidup. Kaki belakang direndam dalam air = perintahnya panas depan dingin belakang. Pohonnya : Kendayakan = jadi pelindung orang sakit, orang sengsara dan orang minggat.
Burungnya : Gagak = mengerti petunjuk gaib. Gedungnya didepan = memperlihatkan kekayaannya, pradah hanya lahir. Bahayanya : Setengah umur. Tangkalnya : selamatan nasi pulen beras sepitrah dikukus, lauknya daging kerbau seharga 21 keteng dimasak pindang, membelinya tidak menawar. Selawatnya 4 keteng. Doanya : Tolak bilahi. Candranya : Endra = gemar bertapa brata, angkuh, suka kepada kepanditan. Ketika kala wuku berada ditimu laut, selama 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.
2. Landep.dewanya sangyang Mahadewa = bagus rupanya, terang hatinya, gemar bersemadi. Kakinya direndam dalam air = perintahnya keras didepan kendur dibelakang, kasih sayang. Pohonnya : Kendajakan = jadi pelindung orang sakit, orang sengsara dan orang minggat. Burungnya : Atatkembang = jadi kesukaan para agung, jika menghambakan diri jadi kesayangan. Gedungnya didepan = memperlihatkan kekayaannya, pradah hanya lahir.
Bahayanya : korobohan pohon. Tangkalnya : Selamatan tumpeng beras sepitrah dikukus. Lauknya daging rusa dicacah lalu dibakar. Selawatnya 4 keteng. Doanya : Kabul. Candranya : Surating raditya = tajam ingatannya, dapat mengerjakan segala pekerjaan, dapat menggrirangkan hati orang lain.
3. Wukir.dewanya sangyang Mahayekti = besar hatinya, menghendaki lebih dari sesama. Tunggalnya : didepan = akhirnya hidup senang. Menghadapi air di jembung besar = baik budi pekertinya. Pohonnya : Nagasari = bagus rupaya, sopan-santun, jika bekerja dicintai oleh majikannya. Burungnya : Manyar = tak mau kalah dengan sesama, dapat mengerjakan segala pekerjaan. Gedungnya didepan = memperlihatkan kekayaannya, pradah hanya lahir. Bahayanya : dianiaya.
Penaangkalnya : selamatan nasi uli, beras sepritah dikukus, daging ayam ayam putih dimasak pakai santan dan sayur lima macam. Selawatnya 4 keteng. Doanya rajukna. Candranya : Gunung artinya jika didekati sulit dan berbahaya jika dilihat dari jauh menyedapkan pemandangan. Ketika kolo wuku berada ditenggara, dalam 7 hari tidak boleh mendatangi tempat kolo.
4. Kurantil.dewanya sangyang Langsur = pemarah. Memanggul tunggal = akhirnya mendapat kesenangan hidup. Air dalam jimbung besar disebelah kiri = serong hatinya. Pohonnya : Ingas = tak dapat untuk berlindung, karena panas. Burungnya : Salinditan = tangkas. Gedungnya terbalik didepan = murah hati. Bahayanya : jatuh memanjat.
Penangkalnya : selamatan tumpeng beras sepitrah dikukus, lauknya daging ayam lereng dipecal. Selawatnya 7 keteng. Doanya : rajukna dan pina. Candranya : Woh-wohan = tak tentu rejekinya.Ketika kolo wuku berada dibawah, dalam 7 hari tak boleh turun dari gunung dan tak boleh menggali tanah.
5. Tolu.dapat menyenangkan hati orang lain, kalau marah berbahaya, tak dapat dicegah, Tunggulnya : dibelakang = kebahagiannya terdapat dibelakang hari. Pohonnya : Wijayamulya = sangat indah rupanya, tajam roman mukanya, tinggi adat-istiadatnya, teliti, suka pada kesunyian, selamat hatinya. Burungnya : Branjangan = riang tangan, cepat bekerjanya. Gedungnya didepan = suka memperlihatkan kekayaannya, pradah hanya lahir. Bahayanya = ditanduk atau disiung.
Penangkalnya : selamatan nasi uduk beras sepitrah dikukus, lauknya daging ayam dimasak dengan santan. Selawatnya 3 keteng. Doanya : Kabul. Candranya : Wangkawa = angkuh, tidak tetap, suka bohong.Ketika kolo wuku berada dibarat-laut, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.
6. Gumbreg.dewanya sangyang cakra = keras budinya, segala yang dikehendakinya segera tercapai, tak mau dicegah, pengasih. Kakai sebelah yang didepan direndam dalam air = perintahnya dingin didepan, panas dibelakang. Pohonnya : beringin = jadi pelindung keluarganya, budinya tinggi. Burungnya : ayam hutan = liar, dicintai oleh para agung, suka tinggal ditempat sunyi. Gedungnya dikirikan = penyayang, jika marah taka sayang kepada harta bendanya.
Bahayanya : tenggelam atau kejatuhan dalam. Tangkalnya : selametan nasi pulen beras sepitrah dikukus, lauknya daging ayam berumbun yang masih muda dan daun-daun 9 macam. Selawatnya 4 keteng. Doanya : Rajukna. Candranya : Geter nekger ing wijati = hening pikirannya, perkataannya nyata redhoan.Ketika “kala wuku” berada di Selatan menghadap utara, dalam 7 hari tidak boleh memandang wajah kala.
7. Warigalit, dewanya sangyang asmara = bagus rupanya sering lawin, cemburuan, sedihan hati, sulit dijalani, tidak mau berhenti. Pohonnya : sulastri = bagus rupanya, banyak yang cinta. Burungnya : kepodong – cemburuan, tak suka berkumpul dengan orang banyak. Bahayanya : tersangkut suatu perkara.
Tangkalnya : selametan nasi urap beras sepitrah dikukus, lauknya daging kerbau ranjapan (pembelian bersama-sama), dimasak getjok. Selawatnya 8 keteng. Doanya : tolak bilahi. Candranya : kaju kemladean ngajak sempal = dimana-mana dapat tumbuh. Ketika “kala wuku” berada diatas, dalam 7 hari tidak boleh mendatangani tempat kala.
8. Warigagung, dewanya sanghyang mahajekti = berat tanggungannya, berkeinginan. Tunggulnya : dibelakang – rejekinya dibelakang hari. Pohonnya : cemara = rame bicaranya, lemah lembut perintahnya dan dihormati. Burungnya : betet = keras kemauannya, pandai mencari kehidupan. Gedungnya dua buah dibelakang dan didepan = ichlasnya hanya setengah. Bahayanya : dimarahi temannya.
Penangkalnya : selamatan nasi uduk bers sepitrah dikukus, lauknya daging bebek dimasak gurih dan daun-daunan 5 macam. Selawatnya 5 keteng. Doanya : rasul. Candranya : Ketug lindu = menepati perkataannya, jika marah menakutkan, tidak mau menerima takdir. Ketika “kala wuku” berada di utara menghadap ke selatan, dalam 7 hari tidak boleh mendatangani tempat kala.
9. Julungwangi, dewanya sanghyang sambu = tinggi perasaannya, tidak boleh disamai. Mengahadap air dijembung = pradah ikhlasan, akan tetapi harus diperlihatkan harum = dicintai oleh orang banyak. Burungnya kutilang = banyak bicara dan perkataannya dipercayai orang, dicintai para pembesar.
Bahayanya : diterkam harimau. Tangkalnya : selamatan nasi pulen beras sepitrah dikukus, lauknya daging ayam brumbun dan uang suwang (+/- 81 ½ sen). Selawatnya : kucing. Doanya Tolak bilahi. Candranya : kasturi arum angambar = segala kehendaknya belum terjadi telah tersiar banyak yang cinta.
10. Sungsang, dewanya sanghyang gana = pemaranh, gelap hati. Air dijebung didepannya +/- pradah, ikhlasan, harus diperlihatkan pemberiannya, banyak rejekinya. Pohonnya : tanganan = tak suka menganggur, keras budinya, suka kepada kepunyaan orang lain. Burungnya : nori = pemboros, jauh kebahagiaannya, murka. Gedungnya terbalik dibelakang = ikhlasan dengan tidak pakai perhitungan.
Bahayanya : kena besi. Tangkalnya : selamatan nasi megana dan tumpeng betas 2 pitrah, daun-daunan 9 macam dicampur dalam tumpeng. Selawatnya 10 keteng. Doanya : Kabul. Candranya : sekar wora-wari bang = besar amarahnya, tetapi mudah dicegah. Ketika “kala wuku” berada di timur dalam 7 hari tidak boleh mendatangani tempat kala.
11. Galungan, dewanya sangyang Komajaya = tetap hatinya, dapat melegakan hati susah, cinta pada perbuatan baik, jauh kepada perbuatan jahat. Memangku air dalam bokor =suka bersedekah, pengasih, sedikit rejekinya. Pohonnya : Tanganan = ringan tangan, tak mau berhenti, keras budinya, suka kepada kepunyaan orang lain. Burungnya : Bido = besar nafsunya, murka.
1. Bahayanya : berselisih.Penangkalnya : selamatan nasi beras sepitrah dikukus, lauknya daging kambing. Doanya : Selamat pina. Candranya : peksi wonten ing luhur = jika mencari hasil dengan menundukkan kepala, sebab gora-goda. Ketika kolo wuku berada di selatan daya, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.
12. Kuningan, dewanya sangyang Indra = melebihi sesama, tinggi derajatnya. Pohonnya : Wijayakusuma = rupanya sangat indah, sangat puaka, tinggi budinya dan teliti, menghindari keramaian, selamat hatinya. Burungnya : Urang-urangan = cepat bekerjanya, lekas marah, pemalu.
1. Gedungnya dibelakang, jendelanya tertutup = hemat. Bahayanya = diamuk..Penangkalnya : selamatan nasi punar beras sepitrah dikukus, lauknya daging kerbau membelinya beramai-ramai, digoreng. Selawatnya 11 keteng. Doanya : Kabul. Candranya : Garojogan = rame bicaranya, banyak bohong.Ketika kolo wuku berada di Barat, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.
13. Langkir, dewanya sangyang Kala menggigit bahunya sendiri = besar nafsunya, tidak sayang kepada badannya sendiri, yang melihat takut, buruk adat-istiadatnya, tidak mau menurut, murka, banyak larangan. Pohonnya : Ingas dan cemara tumbang = panas hati, tak boleh didekati orang,
2. Penangkalnya : selamatan nasi uduk beras sepitrah dikukus, lauknyadaging kambing dan ikan dimasak pakai santan, sayuran secukupnya. Selawatnya 5 keteng. Doanya : Slametpina. Candranya : Redi gumaludug = bicaranya menakutkan, tetapi tidak mengapa.Ketika kolo wuku berada di selatan daya, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.
14. Mandasia,dewanya sangyang Brama, kuat budinya, pemaran, tak mau memberi ampun, jika marah tak dapat dicegah, tegaan. Pohonnya : Asam = kuat dan dicintai orang banyak, jadi pelindung sengsara. Burungnya : Platukbawang = kuat budinya, cepat pekerjaannya, tidak sabaran. Gedungnya terguling didepan = hemat dan banyak rejekinya. Bahayanya : Kena api dan dijahili orang.
3. Penangkalnya : selamatan nasi merah beras sepitrah dikukus, sayur bayam merah, daging ayam merah dipindang dan bunga setaman yang merah. Selawatnya uang baru 40 keteng. Doanya : Slamat. Candranya : Watu item munggeng papreman lan wreksa gung lebet tancepnya = sabar, tetapi jika marah kejam.Ketika kolo wuku berada diatas, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.
15. Djulungpujut, dewanya sangyang guretno, = suka kepada keramaian, tersiar baik, mempunyai kedudukan yang lumayan. Menghendaki bukit = besar kemaunnya, tak suka diatasi, menghendaki memerintah. Pohonnya : Rembuknya = indah warnanya, tidak berbau, dimana-mana jadi kunjungan orang.
Burung : Prijohan = besar kemauannya, halus budinya. Bahayanya : diteluhPenangkalnya : selamatan tumpeng beras sepitrah dikukus, daging ayam merah dipanggang, daun- daunan 9 macam. Selawatnya 30 keteng. Doanya : Balasrewu dan Kunut. Candranya : Palwa ing samodra = kesana-kemari mencari nafkah, rejekinya tidak kurang.Ketika kolo wuku, berada di utara dan selatan, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.
16. Pahang, dewanya sangyang tantra = perkataannya melebihi sesama, tidak sabaran menepati janji. Jembungnya disebelah kiri dibelakangnya = suka jalan serong. Memanggul senjata tajam = waspada, kasar perkataannya, panas hati, suka bertikai. Pohonya : Kendayaan = jadi pelindung orang sakit, orang sengsara dan orang minggat. Burung : Cocak = gelatak bicaranya. Gedung telentang = boros.
Bahayanya : dianiaya.Penangkalnya : selamatan nasi uduk beras sepitrah, lauknya daging ayam dimasak sansan, daun-daunan 11 macem. Selawatnya 9 keteng. Doanya : Rasul.Candranya : Pulo katinggal saking tebih = tersiar semua tingkah lakunya, lahirnya suci, batinnya kotor, angkuh, selalu susah.Ketika kolo wuku berada di Barat-Laut dalam 7 hari tak boleh mengunjungi tempat kala.
17. Kuruwelut, dewanya sanhyang wisnu : tajam ciptanya, tinggi dan selamat budinya, melebihi sesama dewa. Memanggul : cakra = tajam hatinya, berhati-hati. Pohonnya : parijata = jadi pelindung dan besar kebahagiaannya. Burungnya : puter = jika berbicara mula-mula kalah, akhirnya menang, tidak pernah bohong, tidak suka terhadap perkataan yang remeh. Gedungnya didepan = memperlihatkan kekayaannya, puaka tak dapat dipermudah.
6. Bahayanya : kena racun daun. Tangkalnya : selamatan bermacam-macam sayuran, jajan pasar, sekar boreh, tindihnya uang lama sebaranDoanya : tawil. Candranya : tirta wening = sedikit bicaranya, suci hatinya, diturut perintahnya, jadi tempat pengungsian. Ketika “kala wuku” berada diatas, dalam 7 hari tidak boleh mendatangitempat kala.
18. Mrakeh, dewanya sangsyang surenggana = tawakal hatinya, agak ingatan, berkesanggupan, berani kepada kesulitan. Tunggulnya membalik = lekas hidup senang. Pohonnya : Trengguli = buahnya tidak berguna. Tak mempunyai burung = tak boleh disuruh jauh, tentu mendapat bahaya. Gedungnya dipanggul = memperlihatkan pemberian. Bahayanya : tenggelam.
7. Tangkalnya : selamatan nasi uduk, daging ayam mulus dimasak dengan santan dan bermacam-macam ketan. Selawatnya 100 keteng.Doanya : tolak bilahi. Candranya : pandam ageng amerapit = tawakal, mempunyai hati kasihan kepada orang miskin. Ketika “kala wuku” berada di utara, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.
19. Tambir, dewanya sanghyang siwa = lahir dan batinnya berlainan. Pohonnya : Upas = tak dapat untuk berlindung, panas perkataannya. Burungnya : prenjak = sombong, suka membuat perkabaran yang mengherankan, tahu petunjuk gaib. Gedungnya 3 tertutup semua = lokek dan dengki, tak bisa kaya hanya cukup saja. Bahayanya : terkena pasangan. Tangkalnya : selamatan nasi pulen beras sepitrah diliwet, lauknya daging bebek dan ayam dipindang, kuah merah dan putih dan ketimun 25 buah.
8. Selawatnya : pisau baja dan jarum satu. Doanya : slamet pina. Candranya : idune lir upas ratjun = dihargai semua perkataannya. Ketika “kala wuku” berada di barat daya, dalam 7 hari tidak boleh mengunjungi tempat kala.
20. Madangkungan, dewanya sanghyang basuki : ahli bicara, tawakal, tetap hatinya. Pohonnya : plasa = hanya jadi perhiasan hutan, tidak ada gunanya. Burungnya : pelug = suka tinggal di air, suka tinggal ditempat sunyi. Gedungnya di atas = mendewa-dewakan kekayaannya, tawakal, hemat. Bahayanya : dibunuh pada waktu malam. Tangkalnya
9. selamatan nasi punar beras sepitrah dikukus, lauknya daging ayam kuning (wiring kuning) dan berumbun, digoreng, jenang merah pada waktu hari kelahirannya. Selawatnya : 5 keteng. Doanya : ngumur. Candranya : umajang kang tetabuhan = menepati perkataan, dan dapat menyenangkan hati orang lain. Ketika “kaa wuku” berada di timur, dalam 7 hari tak boleh mendatangi kala.
21. Maktal, dewanya sanghyang sakri = burus hatinya, baik pekerjaannya. Pohonnya : nagasari = bagus rupanya, lemah lembut tutur katanya, dicintai oleh pembesar. Burungnya : ayam hutan = liar dan tinggi budinya, banyak tanda-tandanya akan mendapat bahagia, suka tinggal ditempat sunyi. Gedungnya ditumpangi tunggal = kaya benda dan dihormati. Bahayanya = bertikai.
10. Tangkalnya : selamatan nasi uduk, daging ayam dan bebek dimasak 2 macam, dipindang dan dimasak dengan santan, niatnya : ngrasul. Selawatnya 4 keteng. Doanya : rasul. Candranya : lesus awor lan pancawara = lebar pemandangannya, dalam pikirannya. Ketika “kala wuku” berada di timur laut, dalam 7 hari tak boleh mendatangi kala.
22. Wuje, dewanya betara kuwera = menggirangkan hati orang lain, perkataannya lurus dan mengherankan, singkat hati, tetapi sebentar baik. Memasang keris terhunus disebelak kaki = waspada dan tajam hatinya. Pohonnya : Tal = panjang umurnya, besar tanda kebahagiannya, kuat dan tetap hatinya. Burungnya : gogik = cemburuan, tak suka kepada keramaian. Gedungnya terlentang didepan = pengasih.
Bahayanya : diteluh. Tangkalnya : selamatan jajan pasar secukupnya dan bermacam-macam ketan seharga sataksawe (+/- 10 sen). Yang dibeli dahulu madu untuk selanunggal rum arum = peteng hati, sukar dijalani, suka kepada bau harum, besar kehendaknya. Ketika “kala wuku “ berada di barat, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.
23. Manahil, dewanya sangyang Citragatra = menjunjung diri sendiri, dapat berkumpul ditempat ramai, angkuh, selalu bersedia-sedia untuk membela diri. Air dijembung dibelakangnya = Arum perintahnya, akan tetapi tak mempunyai pangkat. Memangku tombak terhunus = waspada dan tajam hatinya.
Pohonnya : Tageron = sedikit faedahnya, liat hatinya. Burungnya : Sepahan = liar budinya, tajam pikirannya. Bahayannya : terkena senjata tajam.Penangkalnya : selamatan nasi liwet beras sepitrah, lauknya daging ayam dan ikan, sayuran secukupnya, sambal gepeng. Selawatnya 8 keteng. Doanya : Selamat tolak bilahi. Candranya : Trenggana abra ing wijit = sabar segala kemauannya, tak suka menganggur, banyak kemauannya.Ketika kala wuku berapa di Tenggara, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.
24. Prangbakat, dewanya sangyang Bisma = pemarah, tangkas, pemalu, memperlihatkan watak prajurit, menghendaki jadi pemimpin orang, lurus pembicaraannya, segala yang dikehendaki tak ada sukarnya. Kakinya kanan direndam dalam air jembung = perintahnya dingin didepan panas dibelakang. Pohonnya : Tirisan = panjang umurnya, cukup rejekinya, tetap pikiranya.
Burungnya : urang-urangan = cepat kerjanya. Bahayanya : memanjat atu karena tingkahnya sendiri. Tangkalnya : selamatan nasi tumpeng beras sepitrah, lauknya daging sapi, dimasak bumbu manis, sayuran secukupnya. Selawatnya : pacul. Doanya : aelamat pina. Candranya : wesi trate pulasani = keras hatinya, cepat kerjanya, pemberi, jujur, belas kasihan. Ketika “kala wuku” berada dibawah, dalam 7 hari tak boleh turun dari gunung dan menggali tanah.
25. Bala, dewanya batari Durga = suka berbuat huru-hara, takut yang mendengar, jahil, suka bercampur dengan kejahatan, tak asa yang ditakuti, pandai sekali bertindak jahat. Pohonnya : cemara = ramai bicaranya, lemah lembut perintahnya dan dihormati.
Burungnya : Ayam hutan = liar budinya, dicintai oleh pembesar, tinggi budinya, banyak tanda-tanda akan mendapat bahagia, suka tinggal ditempat yang sunyi. Gedungnya didepan = memperlihatkan kekayaannya, pradah dilahir. Bahayanya : diteluh dan kena upas.Penangkalnya : selamatan nasi tumpeng beras sepitrah dikukus, sayur 7 macam, panggang ayam hitam. Selawatnya 40 keteng. Doanya : Rajukna : Udan salah mangsa = rejekinya dari jual beli.Ketika kala wuku berada di Barat-Laut, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.
26. Wugu, dewanya sangyang Singajala = banyak akal, lekas mengerti, baik budinya. Pohonya : Wuni sedang berbuah = siapa yang melihat bagaikan mengidam, akantetapi jika telah makan, mencela, banyak rejekinya. Burungnya : Podang = cemburuan, tidak suka berkumpul. Gedungnya tertutup dibelakang = hemat dan pendia. Bahayanya : digigit ular dan disia-sia.
Penangkalnya : selamatan nasi pulen beras sepitrah dikukus dan bermacam-macam ketan, jajan pasar, lauknya daging bebek putih sejodoh dimasak dengan santan. Selawatnya 10 keteng. Doanya: Selamat. Candranya : awang-uwung = baik budinya.Ketika kala wuku berada di sebelah Selatan, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.
27. Wayang, dewanya batari Sri = banyak rejekinya, pradah, bakti, teliti, dingin perintahnya dicintai oleh orang banyak. Jembung berisi air didepan dan duduk disitu = sejuk hatinya, sabar, rela hati, akan tetapi harus diperlihatkan pemberiannya. Pasang keris terhunus = perintahnya mudah didepan, sukar dibelakang. Pohonnya = Cempaka = dicintai oleh orang banyak
3. Burungnya = Ayam hutan = dicintai oleh pembesar, liar budinya, angkuh, senang tinggal ditempat yang sunyi. Bahayanya : kenah tulah dan difitnah.Penangkalnya : selamatan nasi tumpeng beras sepitrah dikukus, daging kambing kendit dimasak macam-macam ketan, ayam dimasak sesukanya, sayuran secukupnya. Selawatnya 40 keteng. Doanya : selamat. Candranya : damar murub, bumi langit = selamat, banyak ilmunya.Ketika kolo wuku berada diatas, dalam 7 hari tak boleh naik.
28. Kulawu, dewanya sangyang Sadana = kuat budinya, besar harapannya. Duduk dijembung berisi air ditepi kolam = sejuk hatinya, dingin perintahnya. Membelakangi senjata tajam = pikirannya terdapat dibelakang, agak tumpul. Pohonnya : Tal = panjang umurnya, besar harapannya, kuat budinya.
4. Burungnya : Nori, boros, murka. Gedungnya didepan = memperlihatkan kekayaannya, pradah hanya lahir. Bahayanya : terkena bisa. Penangkalnya : selamatannasi golong beras sepitrah dikukus, lauknya daging ayam dan bebek yang berwarna merah, ikan dan daging burung, dimasak sekehendahnya. Selawatnya 5 keteng. Doanya : Kabula. Candranya : Bun tumetes ing sendang = ketika kecil miskin, akhirnya besar kebahagiannya, banyak rejekinya.Ketika kala wuku berada di Utara, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.
29. Dukut, dewanya sangyang Sakri = keras hatinya. Menghadapi keris terhunus = waspada, tajam pikirannya, segala yang dilihatnya ingin mempunyainya. Pohonnya : Pandan wangi = kiri tempatnya, dengki, tak boleh didekati. Burungnya : Ayam hutan = dicintai oleh para pembesar, liar dan tinggi budinya, besar harapannya, suka tinggal ditempat sunyi.
5. Membelakangi gedungnya = hemat dan pendiam. Bahayanya : dimedan perang.Penangkalnya : selamatan nasi tumpeng beras sepitrah dikukus, lauknya panggang ayam putih mulus dan ayam brumbun. Selawatnya satakswawe. Doanya : Slamet. Candranya : tunggul asri sesengkeraning nata = bagus rupanya, penakut.Ketika kala wuku berada di Barat, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.
30. Watugunung, dewanya sangyang Antaboga dan batari Nagagini. Antaboga = senang tinggal dilaur kota untuk bertapa. Nagagini = gemar kepada asamara. Menghendaki janji = suka berapa ditempat yang sunyi, jika menjadi pendita, mendapat kehormatan, gemar bersemedi, sedihan hati. Pohonnya : Wijayakusuma = indah warnanya, sangat puaka, tinggi budinya, tidak suka pada keramaian, selamat hatinya, angkuh, teliti. Burungnya : Gogik = cemburu. Bilahinya : dianiaya.
Penangkalnya : selamatan beras sepitrah dikukus, lauknya daging binatang yang diburu, binatang berliang, burung, semuanya yang halal, dimasak bermacam-macam jenang, daun-daunan 7 macam. Selawatnya 9 keteng. Doanya : Mubarak. Candranya : Lintang wulan keraianan = terang hatinya, tetapi tidak bercahaya.Ketika kala wuku berapa di timur, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kolo.
Dibandingkan dengan zodiac Barat dan Cap Ji Shio dari budaya Cina, horoskop versi Jawa ini memang tidak begitu dikenal. Padahal dalam membidik gambaran fisik, watak, dan naas seseorang, Pawukon justru lebih jitu dan akurat. Bahkan mampu memproyeksikan “nasib” seseorang di senja hidupnya dengan perlambang watak hari kelahiran orang tersebut.
Percaya atau tidak, perhitungan hari saat dilakukan pemilihan presiden keempat RI pada Rabu Pon, 20 Oktober 1999, menyisakan firasat buruk bagi bangsa Indonesia. Itu menurut penglihatan dan perhitungan mata hati pakar Pawukon, KRHT Suhadi Darmodipuro, yang juga kepala Museum Radyapustaka, Surakarta. Seperti diketahui pemilihan presiden RI dilakukan siang hari.
“Dalam perhitungan Jawa, Rabu malam itu sudah termasuk Kamis Wage, hari yang baik. Wataknya aras kembang, tunggak semi. Dengan watak aras kembang, artinya siapa pun yang terpilih akan memperoleh simpati dari banyak orang. Demikian pula tunggak semi, meski selalu mendapat kritik atau dilecehkan, tetap akan bertunas dan dengan ketokohannya akan membuahkan hasil baik bagi negara dan bangsa,” demikian ujar Darmodipuro.
Kenyataannya, pemilihan dilakukan pada Rabu siang sebelum pukul 18.00 WIB. Hari itu jatuh pada Wuku Watugunung. Dalam hitungan Jawa, memiliki watak lakuning rembulan, bumi kapetak. Meski watak yang pertama itu baik, watak yang kedua yakni bumi kapetak justru mengubur semua kebaikannya. “Jadi siapa saja yang terpilih menjadi presiden, kendati memiliki niat dan usaha keras untuk membangun serta menyejahterakan bangsa ini, akan kesilep atau tidak dihargai, karena selalu mendapat celaan,” tambah Darmodipuro.
Lewat Pawukon perjalanan nasib seseorang juga bisa dibaca dengan jelas. Contohnya, nasib mantan Presiden Soeharto yang dilahirkan Rabu Kliwon, 8 Juni 1921. Sesuai hari kelahirannya wuku Pak Harto adalah Maktal. Gambaran wuku tersebut terjemahan bebasnya begini: Dewanya Bathara Sakri, setia dalam janji, teguh pendiriannya. Lambang kayunya Negari, tampan wajahnya, bicaranya selalu harum. Burungnya ayam hutan, wataknya cerdik. Gedungnya megah dan berumbul-umbul, artinya pangkat dan kekayaan datang secara bersamaan. Gambaran dirinya bak harimau lapar, kalem tapi waspada, perasaannya gampang kecewa. Naas dirinya karena berkelahi/perseteruan.
Watak hari kelahirannya yang Rabu Kliwon adalah Lakuning Srengenge, Lebu katiyup angin. Tamsil itu menggambarkan hidupnya yang semula ibarat matahari sebagai pemimpin yang menjadi panutan banyak orang, namun pada akhir nasibnya justru seperti debu yang tertiup angin. Meski pada akhirnya kebenaran semua itu tergantung pada kehendak Yang Maha Kuasa.
Lebih komplet dan akurat
Pawukon adalah ilmu tentang wuku yang bersifat baku berdasarkan buku babon yang ada. Tak berbeda dengan metoda hitungan astrologi pada umumnya, wuku ini membagi hari kelahiran seseorang berdasarkan tanggal dan tahun kelahiran. Hanya saja pawukon mendasarkan perhitungannya menurut kalender Jawa. Wuku dalam bahasa Jawa kuno artinya pekan atau seminggu. 1 wuku artinya 7 hari.
Karya Pawukon bisa disejajarkan dengan zodiak Barat maupun Cina yang sudah dikenal luas. Cap Ji Shio terbagi atas 12 macam shio dengan pergantian tiap tahun. Satu periode shio diawali dari tahun pertama yaitu Tahun Tikus yang kemudian berakhir pada tahun keduabelas yakni Tahun Babi. Sedangkan horoskop Barat terbagi atas 12 bintang, pergantiannya tiap bulan, diawali dengan bintang Capricornus dan diakhiri oleh Sagitarius.
Sementara itu Pawukon terbagi atas 30 macam wuku yang pergantiannya berlaku setiap minggu. Perhitungannya mulai dari hari Minggu sampai dengan Sabtu. Satu periode Pawukon diawali pada minggu pertama setiap tahun dengan Wuku Shinta, yang kemudian diakhiri pada minggu ketigapuluh dengan Wuku Watugunung. Urutan dari ke-30 wuku tersebut adalah; Shinta, Landhep, Wukir, Kurantil, Tala, Gumbreg, Warigalit, Warigagung, Julungwangi, Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkir, Mandasia, Julungpujut, Pahang, Kuruwelut, Mrakeh, Tambir, Madangkungan, Maktal, Wuye, Manahil, Prangbakat, Bala, Wugu, Wayang, Kulawu, Dhukut, Watugunung.
Setiap wuku memayungi kelahiran (manusia) dalam waktu satu pekan atau tujuh hari. Perhitungan harinya pun disesuaikan dengan pasaran (pon, wage, kliwon, legi, pahing).
Dibandingkan dengan horoskop versi lain, Pawukon memiliki kelebihan. Selain memberi gambaran secara umum untuk mengetahui kondisi fisik, karakter, atau watak seseorang, setiap wuku juga mampu menemukan jenis naas (pengapesan) atau pantangan yang harus dihindari serta proyeksi “nasib” seseorang di masa datang.
Misalnya seseorang yang memiliki Wuku Kurantil pantangannya adalah penekan, yakni kegiatan yang sifatnya panjat-memanjat. Sedangkan mereka yang berwuku Gumbreg naasnya karena air, Keblabag ing Banyu. Sesuai usia wuku, masa berlaku pantangan ini pun hanya seminggu. Artinya, selama waktu itu orang yang bersangkutan sebaiknya menghindari hal-hal yang menjadi pantangannya.
Apakah pengapesan ini bisa menjadi kenyataan? Seorang Bung Karno yang berwuku Wayang ternyata pengapesannya Sebab Kena ing Paeka (cinidra), yakni dikhianati atau diperdaya. Lintasan sejarah hidup Proklamator ini secara jelas telah memberikan jawabannya.
Penggambaran keadaan fisik, karakter, serta sifat-sifat orang dalam setiap wuku disajikan lewat simbol seperti dewa, manuk (burung), gedung, panji-panji, pohon atau kayu. Sementara naas atau pengapesan seseorang selalu disertakan dalam perlambang sambekala. Namun tidak seperti icon sederhana yang menandai masing-masing zodiak Barat atau shio Cina, ketigapuluh wuku dalam Pawukon digambarkan secara filosofis dengan ilustrasi menarik, artistik, dan mendetil sesuai ulasan yang terdapat di setiap wukunya.
Darmodipuro yakin tingkat akurasi Pawukon dalam membaca watak dan mengungkap nasib bisa mencapai 70% mendekati kebenaran.
“Sebagian besar klien yang datang ke sini mengaku apa yang tersurat dalam wukunya banyak yang cocok.” Ada juga satu dua orang mengatakan uraian dalam wukunya itu tidak sesuai. Meskipun begitu, menurut Darmodipuro, reaksi penolakan spontan itu terkesan lebih sebagai perwujudan mekanisme self-defence yang ada dalam diri setiap manusia, ketika sifat-sifat buruknya terungkap.
Masih berkaitan dengan Pawukon, Darmodipuro mengatakan bahwa dalam setiap bulan hampir selalu ada yang disebut hari buruk yang dialami oleh wuku-wuku tertentu dalam perjalanan satu tahun. Hari-hari buruk itu disebut dengan istilah taliwangke dan samparwangke (wangke artinya bangkai). Menurut kepercayaan Jawa, pada hari itu mereka yang kebetulan wukunya terkena taliwangke atau samparwangke, sebaiknya tidak melakukan hal-hal yang berisiko, seperti perjalanan jauh, atau membuat keputusan penting yang menyangkut kehidupannya.
Believe it or not, pada tanggal-tanggal yang menurut perhitungan Darmodipuro merupakan hari buruk itu selalu ada peristiwa yang tidak terduga. Termasuk beberapa petaka yang menimpa bumi ini, seperti musibah Terowongan Mina tahun 1990 yang menewaskan 1.426 orang, jatuh pada hari taliwangke. Juga meledaknya pesawat Challenger, 28 Januari 1986, dan terbakarnya Keraton Surakarta, 31 Januari 1985. Contoh kiwari yang masih hangat adalah, pada 16 Maret 1997 Pak Harto mengambil sumpah Kabinet Reformasi Pembangunan. Tanggal itu jatuh pada hari taliwangke. Maka yang terjadi kemudian, jalannya pemerintahan amburadul, yang pada akhirnya tumbang dilibas arus reformasi.
Nyaris hilang, padahal universal
Diakui atau tidak, pengetahuan tentang Pawukon serta primbon Jawa ini sebetulnya nyaris terkubur oleh derasnya arus modernisasi di kalangan masyarakat Jawa. Apalagi nilai modernitas yang telanjur diserap kalangan muda sering membuat mereka semakin tercerabut dari akar tradisi leluhur. Hanya lantaran gengsi, semua hal yang berbau tradisional di-emohi karena dianggap ndeso dan klenik. Padahal ketika dihadapkan pada suatu kenyataan hidup yang tidak menenteramkan, diam-diam mereka mencari pegangan psikologis. Bagaimanapun juga orang Jawa yang pada dasarnya berakar pada budaya agraris-mistis, termasuk mereka yang sudah hidup di kota-kota besar, akhirnya berpaling juga mengikuti naluri tradisionalnya.
Terbukti, masih banyak orang yang meyakini primbon dan tetap mempertimbangkan petungan Jawa kalau ingin menentukan tanggal perkawinan, pindah rumah, memulai kegiatan bisnis, atau menjalani ritus, sejak kehamilan sampai kelahiran seorang bayi, atau bahkan dalam memilih nama.
Untunglah masih ada figur seperti KRHT Darmodipuro, lelaki kelahiran Solo, 15 September 1937, seorang dari sangat sedikit pakar Kejawen yang tak lekang dimakan derasnya arus zaman. Kesetiaannya dalam menggeluti produk budaya Kejawen menggugah kesadaran masyarakat Jawa akan keunggulan dan nilai luhur Pawukon. Di samping tugasnya sebagai kepala museum Radyapustaka memungkinkannya mengeksplorasi secara otodidak berbagai sumber kuno tentang kebudayaan Jawa di museum tersebut, kepakarannya mengenai pawukon dan primbon didapatnya dari guru-gurunya para budayawan Jawa yang sudah mendiang seperti R. Tanoyo, KRT Ronggowarsito, dan RNg. Sastrosayono.
Dalam kesehariannya kini, Darmodipuro tidak pernah sepi tamu. Hampir setiap hari, ia kedatangan orang yang ingin menanyakan wuku, atau perhitungan hari baik untuk beragam keperluan. Tingkat sosial mereka mulai dari rakyat jelata, menengah, sampai para petinggi dari Jakarta, baik sipil maupun jenderal militer.
“Menurut saya, Pawukon ini sifatnya lebih universal. Buktinya, yang datang untuk konsultasi soal ini kepada saya banyak pula orang Tionghoa, bahkan bangsa Belanda, Jerman, Amerika, Australia, Inggris, dan lain sebagainya,” ujarnya sambil memperlihatkan satu bundel uraian wuku pesanan seorang petinggi militer dari Jakarta.
Salah seorang kliennya asal Jerman, H. Henning, yang kemudian diketahui punya Wuku Julungwangi mengaku sangat terkesan karena membuktikan sendiri kebenaran uraian yang terdapat dalam wuku-nya, bahwa naas hidupnya dimangsa binatang buas.
“Ia mengaku selama hidupnya memang pernah tiga kali nyaris tewas diterkam hewan buas, yakni sewaktu berada di Mesir, Jawa Barat, dan di negerinya sendiri,” ujar Darmodipuro menirukan klienya.
Nasib Pawukon yang nyaris terpinggirkan ini juga menarik perhatian Drs. Bambang Saptono (31), seniman lukis alumnus Univeristas Negeri Sebelas Maret, Surakarta, yang merasa terpanggil untuk melestarikan pawukon. “Saya terobsesi untuk memasyarakatkan Pawukon. Kalau horoskop Barat dan shio Cina sampai begitu terkenal ke seluruh dunia, mengapa Pawukon tidak bisa? Padahal produk budaya Jawa ini lebih canggih, spesifik, dan akurat,” aku Bambang yang sejak tahun 1996 lalu mulai mengadakan penelitian, menulis buku, serta mengangkat simbol-simbol Pawukon dengan melukiskannya kembali secara lebih menarik di atas kanvas. Sekarang ini Bambang sudah berhasil “mengkanvaskan” ilustrasi 30 wuku dengan visualisasi yang lebih artistik dan menarik untuk dilihat. Bahkan akhir Oktober 1999 karya lukisan Pawukon ini sudah dipamerkan di Solo selama tiga hari. Dalam upayanya memperkenalkan kepada dunia internasional, menurut rencana Bambang akan menggelar lukisan Pawukon-nya di Prancis tahun ini.
“Saya menyadari mengapa sampai sekarang ini kaum muda dan masyarakat Indonesia lebih tertarik pada horoskop Barat ketimbang Pawukon. Salah satu penyebabnya lantaran jarang dipromosikan dan dimasyarakatkan. Mana ada media massa yang membuat rubrik tentang Pawukon, yang banyak ‘kan rubrik tentang zodiak Barat?”
Padahal menurut Bambang pengetahuan tentang wuku kita masing-masing akan mendatangkan banyak faedah. “Uraian tentang wuku bisa dijadikan sebagai sarana introspeksi diri. Kalau dalam wuku tersebut tertulis sifat-sifat atau kejelekan watak kita, ya, harus diterima sebagai cermin untuk memperbaiki diri,” ujar bujangan berkacamata minus ini.
Untuk menentukan wuku, yang diperlukan adalah tanggal kelahiran sesuai tahun Masehi, kemudian dirujuk dalam penanggalan Jawa. Dari penanggalan Jawa itu bisa diketahui termasuk wuku apakah hari kelahiran tersebut. Berangkat dari tanggal tersebut juga bisa dicari hari dan weton-nya untuk menentukan jenis pengapesannya berikut selamatan yang harus dijalani, kalau mau. Untuk mempermudah pencarian wuku tadi bisa dirujuk pada buku Kalender Abadi yang sudah dijual di pasaran. Salah satunya, Kalender 301 Tahun, (Balai Pustaka, 1989), yang disusun oleh Tjokorda Rai Sudharta MA dkk, bisa digunakan dengan sangat mudah.
Tak diketahui penciptanya
Seperti hanya Cap Ji Shio maupun zodiak Barat, Pawukon pun sampai kini belum diketahui persis asal usul berikut penciptanya.
Kenyataan ini diperparah oleh kondisi sumber-sumber tulisan yang menunjang informasi ini sudah amat memprihatinkan. Seperti buku tentang Pawukon terbitan tahun 1850 yang kini tersimpan di Istana Mangkunegaran, sudah amat rapuh. Buku serupa di Sasono Pustoko, Keraton Kasunanan Surakarta, yang dibuat pada masa Paku Buwono X (1893-1939) kondisinya sedikit lebih baik.
“Dari sekian banyak literatur yang saya baca, tak satu pun menjelaskan secara pasti siapa pembuat Pawukon…,” aku Bambang Saptono. Namun ia memperkirakan Pawukon ini dibuat sekitar abad VII, pada masa Hindu.
Mitos menceritakan bahwa lahirnya Pawukon diilhami kisah Raja Watugunung, cerita rakyat zaman dulu, yang mengisahkan cinta anak lelaki terhadap ibunya sendiri seperti Oedipus dari Yunani. Nama anak-anak yang lahir dari hubungan terlarang inilah yang menandai nama wuku. Ada pun urutan wuku itu disesuaikan dengan janji Dewa kepada Watugunung untuk mengangkat semua anggota keluarganya ke kayangan. Untuk mendapat jaminan agar semua diangkat ke kayangan, Watugunung memilih menunggui anggota keluarganya dulu satu persatu diangkat ke kayangan, sementara dirinya sendiri memilih yang paling akhir. Itulah sebabnya Wuku Watugunung berada di urutan terakhir.
Lebih lanjut Bambang memberi latar belakang, minimnya sumber tulisan tentang Pawukon ini memang dimungkinkan karena dalam budaya Jawa kuno tradisi tulis kurang dikenal, sehingga menyulitkan pelacakannya.
Sementara itu Darmodipuro memperkirakan penggunaan Pawukon dalam praktik bernegara dan kehidupan sehari-hari sudah dimulai pada zaman Sultan Agung (1613-1645). Gelapnya informasi tentang pencipta Pawukon ini sangat mungkin lantaran sifat para pujangga Jawa zaman dulu yang memegang prinsip rendah hati.
“Sifat orang Jawa ‘kan tidak mau menonjolkan diri pribadi. Itulah sebabnya banyak karya sastra Jawa yang tidak ketahuan siapa pembuatnya. Sebagai contohnya, karya-karya KRT Ronggowarsito tidak ada yang jelas-jelas menuliskan namanya. Kalaupun ada biasanya dibuat sandiasmo (nama rahasia). Itu pun diselipkan secara tersamar ke dalam karya tulisnya sehingga hanya orang-orang tertentu yang bisa membacanya. Saya rasa itu juga yang terjadi dengan karya Pawukon ini,” jelasnya.
Telaah yang agak berbeda diberikan oleh Drs. Manu Djojoatmodjo, pakar Jawa kuno yang juga dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Selain sulit dilacak, versi Pawukon juga beragam sesuai dengan perbedaan tradisi di mana keyakinan Pawukon itu dianut oleh masyarakat. Meski pola bakunya sama, bisa jadi Pawukon yang ada di Keraton Surakarta berbeda dengan yang terdapat di Pakualaman, Yogyakarta.
“Kita sulit melacak penciptanya karena Pawukon itu merupakan wujud kristalisasi persepsi budaya masyarakat Jawa tentang waktu yang meliputi hari, weton, watak maunusia, serta pranata mangsa yang selama ratusan tahun menjadi pedoman hidup kesehariannya.” Apalagi, masih menurut Manu, dalam perjalanan waktu terjadi inkulturasi budaya Hindu, yang pada akhirnya juga mempengaruhi persepsi dan praktik budaya Jawa, termasuk dalam hal Pawukon. Itulah sebabnya dalam setiap wuku selalu ada dewa pelindungnya.
Betapapun Pawukon adalah salah satu kekayaan budaya Indonesia. Membiarkannya punah sama halnya dengan melupakan sejarah bangsa sendiri. Oleh karena itu menjadi tugas kita semua untuk melestarikannya. (Djati Surendro - Intisari)
No comments:
Post a Comment