Saturday, October 3, 2015
MENGENAL KUJANG LEBIH DALAM
Berbicara tentang kujang, identik dengan berbicara Sunda Pajajaran masa silam. Sebab, alat ini berupa salah sastu aspek identitas eksistensi budaya Sunda kala itu. Namun, dari telusuran kisah keberadaannya tadi, sampai sekarang belum ditemukan sumber sejarah yang mampu memberitakan secara jelas dan rinci. Malah bisa dikatakan tidak adanya sumber berita sejarah yang akurat.
Satu-satunya sumber berita yang dapat dijadikan pegangan (sementara) yaitu lakon-lakon pantun. Sebab dalam lakon-lakon pantun itulah kujang banyak disebut-sebut. Di antara kisah-kisah pantun yang terhitung masih lengkap memberitakan kujang, yaitu pantun (khas) Bogor sumber Gunung Kendeng sebaran Aki Uyut Baju Rambeng. Pantun Bogor ini sampai akhir abad ke-19 hanya dikenal oleh warga masyarakat Bogor marginal (pinggiran), yaitu masyarakat pedesaan. Mulai dikenalnya oleh kalangan intelektual, setelahnya tahun 1906 C.M. Pleyte (seorang Belanda yang besar perhatiannya kepada sejarah Pajajaran) melahirkan buku berjudul Moending Laja Di Koesoemah, berupa catatan pribadinya hasil mendengar langsung dari tuturan juru pantun di daerah Bogor sebelah Barat dan sekitarnya.
Ia lebih menaruh perhatian besar kepada Pantun Bogor, karena menurut penelitiannya Pantun Bogor termasuk yang paling utuh jika dibandingkan dengan pantun-pantun daerah Jawa Barat sebelah Timur, baik dalam cara memainkan pantunnya, bahasa Sundanya, juga termasuk sumber sejarah yang dikisahkannya. Sedangkan pantun-pantun daerah Jawa Barat sebelah Timur, kala itu katanya sudah banyak yang semrawut tidak utuh lagi.
Pemberitaan tentang kujang selalu terselip hampir dalam setiap lakon dan setiap episode kisah serial Pantun Bogor, baik fungsi, jenis, dan bentuk, para figur pemakainya sampai kepada bagaimana cara menggunakannya. Malah ungkapan-ungkapan konotatif yang memakai kujang-pun tidak sedikit. Contoh kalimat gambaran dua orang berwajah kembar; “Badis pinang nu munggaran, rua kujang sapaneupaan” atau melukiskan seorang wanita; “Mayang lenjang badis kujang, tembong pamor tembong eluk tembong combong di ganjana” dsb. Demikian pula bendera Pajajaran yang berwarna “hitam putih” juga diberitakan bersulamkan gambar kujang “Umbul-umbul Pajajaran hideung sawaréh bodas sawaréh disulaman kujang jeung pakujajar nu lalayanan”.
Sejak sirnanya Kerajaan Pajajaran sampai sekarang, kujang masih banyak dimiliki oleh masyarakat Sunda, yang fungsinya hanya sebagai benda obsolete tergolong benda sejarah sebagai wahana nostalgia dan kesetiaan kepada keberadaan leluhur Sunda pada masa jayanya Pajajaran, di samping yang tersimpan di museum-museum.
Di samping itu, sebutan kujang banyak pula yang masih abadi seperti pada:
Nama kampung; Parungkujang, Cikujang, Gunungkujang, Parakankujang.
Nama Tangtu Baduy; Tangtu Kadukujang (Cikartawana), Sanghyang Kujang (Undak ke-3 pamujaan Baduy di Gunung Pamuntuan).
Nama Batalyon; Batalyon Kujang pada Kodam Siliwangi.
Nama perusahaan; Pupuk Kujang, Semen Kujang, dsb.
Nama tugu peringatan: Tugu Kujang di Kota Bogor.
Pengabadian kujang lainnya, banyak yang menggunakan gambar bentuk kujang pada lambang-lambang daerah, pada badge-badge organisasi kemasyarakatan atau ada pula kujang-kujang tempaan baru (tiruan), sebagai benda aksesori atau cenderamata.
Selain keberadaan kujang seperti itu, di kawasan Jawa Barat dan Banten masih ada komunitas yang masih akrab dengan kujang dalam pranata hidupnya sehari-hari, yaitu masyarakat Sunda “Pancer Pangawinan” (tersebar di wilayah Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak – Provinsi Banten, Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor dan di Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi – Provinsi Jawa Barat). Dan masyarakat “Sunda Wiwitan Urang Kanékés” (Baduy) di Kabupaten Lebak – Provinsi Banten.
Dalam lingkungan budaya hidup mereka, tiap setahun sekali kujang selalu digunakan pada upacara “Nyacar” (menebangi pepohonan untuk lahan ladang). Patokan pelaksanaannya yaitu terpatri dalam ungkapan “Unggah Kidang Turun Kujang”, artinya jika bintang Kidang telah muncul di ufuk Timur di kala subuh, pertanda musim “Nyacar” sudah tiba, kujang (Kujang Pamangkas) masanya digunakan sebagai pembuka kegiatan “Ngahuma” (berladang).
Bentuk dan Jenis Kujang
Pada zaman masih jayanya kerajaan Pajajaran, kujang terdiri dari beberapa bentuk, di antaranya:
1. Kujang Ciung; yaitu kujang yang bentuknya dianggap menyerupai burung Ciung.
2. Kujang Jago; kujang yang bentuknya menyerupai ayam jago.
3. Kujang Kuntul; kujang yang menyerupai burung Kuntul.
4. Kujang Bangkong; kujang yang menyerupai bangkong (kodok).
5. Kujang Naga; kujang yang bentuknya menyerupai naga.
6. Kujang Badak; kujang berbadan lebar dianggap seperti badak.
7. Kudi; perkakas sejenis kujang.
Berdasarkan jenisnya, kujang memiliki fungsi sebagai:
1. Kujang Pusaka; yaitu kujang sebagai lambang keagungan seorang raja atau pejabat kerajaan lainnya dengan kadar kesakralannya sangat tingi seraya memiliki tuah dan daya gaib tinggi.
2. Kujang Pakarang; yaitu kujang untuk digunakan sebagai alat berperang dikala diserang musuh.
3. Kujang Pangarak; yaitu kujang bertangkai panjang seperti tombak sebagai alat upacara.
4. Kujang Pamangkas; kujang sebagai alat pertanian (perladangan).
Nama-nama Bagian Kujang
Wujud sebilah kujang memiliki bagian yang masing-masing mempunyai namanya sendiri-sendiri, meskipun tidak seluruh bentuk kujang memiliki bagian sama lengkapnya. Kujang yang memiliki bagian-bagian secara lengkap, biasanya dimiliki oleh para raja, para menak (bangsawan), dan para pangagung (pejabat tinggi) kerajaan lainnya.
Bagian-bagian kujang tersebut di antaranya:
Papatuk (Congo); bagian ujung kujang yang runcing, gunanya untuk menoreh atau mencungkil.
Eluk (Siih); lekukan-lekukan atau gerigi pada bagian punggung kujang sebelah atas, gunanya untuk mencabik-cabik perut musuh.
Waruga; nama bilahan (badan) kujang.
Mata; lubang-lubang kecil yang terdapat pada bilahan kujang yang pada awalnya lubang-lubang itu tertutupi logam (biasanya emas atau perak) atau juga batu permata. Tetapi kebanyakan yang ditemukan hanya sisasnya berupa lubang-lubang kecil. Gunanya sebagai lambang tahap status si pemakainya, paling banyak 9 mata dan paling sedikit 1 mata, malah ada pula kujang tak bermata, disebut “Kujang Buta”.
Pamor; garis-garis atau bintik-bintik pada badan kujang disebut Sulangkar atau Tutul, biasanya mengandung racun, gunanya selain untuk memperindah bilah kujangnya juga untuk mematikan musuh secara cepat.
Tonggong; sisi yang tajam di bagian punggung kujang, bisa untuk mengerat juga mengiris.
Beuteung; sisi yang tajam di bagian perut kujang, gunanya sama dengan bagian punggungnya.
Tadah; lengkung kecil pada bagian bawah perut kujang, gunanya untuk menangkis dan melintir senjata musuh agar terpental dari genggaman.
Paksi; bagian ekor kujang yang lancip untuk dimasukkan ke dalam gagang kujang.
Combong; lubang pada gagang kujang, untuk mewadahi paksi (ekor kujang).
Selut; ring pada ujung atas gagang kujang, gunanya untuk memperkokoh cengkeraman gagang kujang pada ekor (paksi).
Ganja (landéan); nama khas gagang (tangkai) kujang.
Kowak (Kopak); nama khas sarung kujang.
Di antara bagian-bagian kujang tadi, ada satu bagian yang memiliki lambang “ke-Mandalaan”, yakni mata yang berjumlah 9 buah. Jumlah ini disesuaikan dengan banyaknya tahap Mandala Agama Sunda Pajajaran yang juga berjumlah 9 tahap, di antaranya (urutan dari bawah): Mandala Kasungka, mandala Parmana, Mandala Karna, Mandala Rasa, Mandala Séba, Mandala Suda, Jati Mandala, Mandala Samar, Mandala Agung. Mandala tempat siksaan bagi arwah manusia yang ketika hidupnya bersimbah noda dan dosa, disebutnya Buana Karma atau Jagat Pancaka, yaitu Neraka.
Kelompok Pemakai Kujang
Meskipun perkakas kujang identik dengan keberadaan Kerajaan Pajajaran pada masa silam, namun berita Pantun Bogor tidak menjelaskan bahwa alat itu dipakai oleh seluruh warga masyarakat secara umum. Perkakas ini hanya digunakan oleh kelompok tertentu, yaitu para raja, prabu anom (putera mahkota), golongan pangiwa, golongan panengen, golongan agama, para puteri serta kaum wanita tertentu, para kokolot. Sedangkan rakyat biasa hanya menggunakan perkakas-perkakas lain seperti golok, congkrang, sunduk, dsb. Kalaupun di antaranya ada yang menggunakan kujang, hanya sebatas kujang pamangkas dalam kaitan keperluan berladang.
Setiap menak (bangsawan), para pangagung (pejabat negara) sampai para kokolot, dalam pemilikan kujang, tidak sembarangan memilih bentuk. Namun, hal itu ditentukan oleh status sosialnya masing-masing. Bentuk kujang untuk para raja tidak boleh sama dengan milik balapati. Demikian pula, kujang milik balapati mesti berbeda dengan kujang miliknya barisan pratulup, dan seterusnya.
Dalam kaitan pemakaian kujang tadi, akan tergambar dari tahapan fungsi para pejabat yang tertera dalam struktur jabatan pemerintahan Negara Pajajaran sebagai berikut:
1. Raja
2. Léngsér
3. Brahmesta
4. Prabu Anom (Putera Mahkota)
5. Bupati Panangkes dan Balapati
6. Geurang Seurat
7. Para Bupati Pakuan dan Bupati Luar Pakuan
8. Para Patih termasuk Patih Tangtu dan Mantri Paséban
9. Para Lulugu
10. Para Kanduru
11. Para Sambilan
12. Para Jaro termasuk Jaro Tangtu
13. Para Bareusan, Para Guru, Para Pangwereg
14. Para Kokolot
Jabatan Prabu Anom (3) sampai para Bareusan, para Guru, juga para Pangwereg (12), tergabung di dalam golongan Pangiwa dan Panengen. Tetapi dalam pemilikan dan pemakaian kujang, ditentukan oleh kesejajaran tugas dan fungsinya masing-masing, seperti:
1. Kujang Ciung mata-9: hanya dipakai khusus oleh Raja;
2. Kujang Ciung mata-7: dipakai oleh Mantri Dangka dan Prabu Anom;
3. Kujang Ciung mata-5: dipakai oleh Girang Seurat, Bupati Pamingkis,dan para Bupati Pakuan;
4. Kujang Jago: dipakai oleh Balapati, para Lulugu, dan Sambilan;
5. Kujang Kuntul: dipakai oleh para Patih (Patih Puri, Patih Taman, Patih Tangtu Patih Jaba, dan Patih Palaju), juga digunakan oleh para Mantri (Mantri Majeuti, Mantri Paséban, Mantri Layar, Mantri Karang, dan Mantri Jero);
6. Kujang Bangkong: dipakai oleh Guru Sekar, Guru Tangtu, Guru Alas, Guru Cucuk;
7. Kujang Naga: dipakai oleh para Kanduru, para Jaro, Jaro Awara, Tangtu, Jaro Gambangan;
8. Kujang Badak: dipakai oleh para Pangwereg, para Pamatang, para Palongok, para Palayang, para Pangwelah, para Bareusan, parajurit, Paratulup, Sarawarsa, para Kokolot.
Selain diperuntukkan bagi para pejabat tadi, kujang digunakan pula oleh kelompok agama, tetapi kesemuanya hanya satu bentuk yaitu Kujang Ciung, yang perbedaan tahapannya ditentukan oleh banyaknya “mata”. Kujang Ciung bagi peruntukan Brahmesta (pendeta agung negara) yaitu yang bermata-9, sama dengan peruntukan raja. Kujang Ciung bagi para Pandita bermata-7, para Geurang Puun, Kujang Ciung bermata-5, para Puun Kujang Ciung bermata-3, para Guru Tangtu Agama dan para Pangwereg Agama Kujang Ciung bermata-1.
Di samping masing-masing memiliki kujang tadi, golongan agama menyimpan pula Kujang Pangarak, yaitu kujang yang bertangkai panjang yang gunanya khusus untuk upacara-upacara sakral seperti Upacara Bakti Arakana, Upacara Kuwera Bakti, dsb., malah kalau dalam keadaan darurat, bisa saja dipakai untuk menusuk atau melempar musuh dari jarak jauh. Tapi fungsi utama seluruh kujang yang dimiliki oleh golongan agama, sebagai pusaka pengayom kesentosaan seluruh isi negara.
Kelompok lain yang juga mempunyai kewenangan memakai kujang yaitu para wanita Menak (Bangsawan) Pakuan dan golongan kaum wanita yang memiliki fungsi tertentu, seperti para Puteri Raja, para Puteri Kabupatian, para Ambu Sukla, Guru Sukla, para Ambu Geurang, para Guru Aés, dan para Sukla Mayang (Dayang Kaputrén). Kujang bagi kaum wanita ini, biasanya hanya terdiri dari Kujang Ciung dan Kujang Kuntul. Hal ini karena bentuknya yang langsing, tidak terlalu “galabag” (berbadan lebar”, dan ukurannya biasanya lebih kecil dari ukuran kujang kaum pria.
Untuk membedakan status pemiliknya, kujang untuk kaum wanita pun sama dengan untuk kaum pria, yaitu ditentukan oleh banyaknya mata, pamor, dan bahan yang dibuatnya. Kujang untuk para puteri kalangan menak Pakuan biasanya kujang bermata-5, Pamor Sulangkar, dan bahannya dari besi kuning pilihan. Sedangkan (kujang) wanita fungsi lainnya kujang bermata-3 ke bawah malah sampai Kujang Buta, Pamor Tutul, bahannya besi baja pilihan.
Kaum wanita Pajajaran yang bukan menak tadi, di samping menggunakan kujang ada pula yang memakai perkakas “khas wanita” lainnya, yaitu yang disebut Kudi, alat ini kedua sisinya berbentuk sama, seperti tidak ada bagian perut dan punggung, juga kedua sisinya bergerigi seperti pada kujang, ukurannya rata-rata sama dengan ukuran “Kujang Bikang” (kujang pegangan kaum wanita), langsing, panjang kira-kira 1 jengkal termasuk tangkainya, bahannya semua besi-baja, lebih halus, dan tidak ada yang memamai mata.
Proses Pembuatan Kujang
Pada zamannya Kerajaan Pajajaran Sunda masih jaya, setiap proses pembuatan benda-benda tajam dari logam termasuk pembuatan senjata kujang, ada patokan-patokan tertentu yang harus dipatuhi, di antaranya:
Patokan Waktu
Mulainya mengerjakan penempaan kujang dan benda-benda tajam lainnya, ditandai oleh munculnya Bintang Kerti, hal ini terpatri dalam ungkapan “Unggah kidang turun kujang, nyuhun kerti turun beusi”, artinya ‘Bintang Kidang mulai naik di ufuk Timur waktu subuh, pertanda masanya kujang digunakan untuk “nyacar” (mulai berladang). Demikian pula jika Bintang Kerti ada pada posisi sejajar di atas kepala menyamping agak ke Utara waktu subuh, pertanda mulainya mengerjakan penempaan benda-benda tajam dari logam (besi-baja)’. Patokan waktu seperti ini, kini masih berlaku di lingkungan masyarakat “Urang Kanékés” (Baduy).
Kesucian “Guru Teupa” (Pembuat Kujang)
Seorang Guru Teupa (Penempa Kujang), waktu mengerjakan pembuatan kujang mesti dalam keadaan suci, melalui yang disebut “olah tapa” (berpuasa). Tanpa syarat demikian, tak mungkin bisa menghasilkan kujang yang bermutu. Terutama sekali dalam pembuatan Kujang Pusaka atau kujang bertuah. Di samping Guru Teupa mesti memiliki daya estetika dan artistika tinggi, ia mesti pula memiliki ilmu kesaktian sebagai wahana keterampilan dalam membentuk bilah kujang yang sempurna seraya mampu menentukan “Gaib Sakti” sebagai tuahnya.
Bahan Pembuatan Kujang
Untuk membuat perkakas kujang dibutuhkan bahan terdiri dari logam dan bahan lain sebagai pelengkapnya, seperti:
1. Besi, besi kuning, baja, perak, atau emas sebagai bahan membuat waruga (badan kujang) dan untuk selut (ring tangkai kujang).
2. Akar kayu, biasanya akar kayu Garu-Tanduk, untuk membuat ganja atau landean (tangkai kujang). Akar kayu ini memiliki aroma tertentu.
3. Papan, biasanya papan kayu Samida untuk pembuatan kowak atau kopak (sarung kujang). Kayu ini pun memiliki aroma khusus.
4. Emas, perak untuk pembuatan “mata” atau “pamor” kujang pusaka ataukujang para menak Pakuan dan para Pangagung tertentu. Selain itu, khusus untuk “mata” banyak pula yang dibuat dari batu permata yang indah-indah.
5. “Peurah” (bisa binatang) biasanya “bisa Ular Tiru”, “bisa Ular Tanah”, “Bisa Ular Gibug”, ”bisa Kelabang” atau “bisa Kalajengking”. Selain itu digunakan pula racun tumbuh-tumbuhan seperti ”getah akar Leteng” “getah Caruluk” (buah Enau) atau “serbuk daun Rarawea”, dsb. Gunanya untuk ramuan pelengkap pembuatan “Pamor”. Kujang yang berpamor dari ramuan racun-racun tadi, bisa mematikan musuh meski hanya tergores.
6. “Gaib Sakti” sebagai isi, sehingga kujang memiliki tuah tertentu. Gaib ini terdiri dari yang bersifat baik dan yang bersifat jahat, bisa terdiri dari gaib Harimau, gaib Ulat, gaib Ular, gaib Siluman, dsb. Biasanya gaib seperti ini diperuntukan bagi isi kujang yang pamornya memakai ramuan racun sebagai penghancur lawan. Sedangkan untuk Kujang Pusaka, gaib sakti yang dijadikan isi biasanya para arwah leluhur atau para “Guriyang” yang memiliki sifat baik, bijak, dan bajik.
Tempat (Khusus) Pembuatan Kujang
Tempat untuk membuat benda-benda tajam dari bahan logam besi-baja, baik kudi, golok, sunduk, pisau, dsb. Dikenal dengan sebutan Gosali, Kawesen, atau Panday. Tempat khusus untuk membuat (menempa) perkakas kujang disebut Paneupaan.
Seperti dalam lakon Pantun Bogor kisah “Kalangsunda Makalangan” terdapat ungkapan yang menggamvarkan kemiripan rupa tokoh Kumbang Bagus Setra dan Rakean Kalang Sunda dengan kalimat berbunyi: “Yuni Kudi sa-Gosali, rua Kujang sa-Paneupaan”, ungkapan tersebut mengindi-kasikan bahwa istilah “Paneupaan” benar-benar berupa nama untuk tempat pembuatan perkakas kujang. Hal ini lebih diperjelas lagi dengan sebutan “Guru Teupa” bagi si pembuat kujang, yang mungkin sederajat dengan “Empu” pembuat keris di lingkungan masyarakat Jawa.
Cara Membawa Kujang
Membawa perkakas kujang tidak hanya satu cara, namun tergantung kepada bentuk dan ukuran besar kecilnya dan kadar kesakralannya.
Disoren; yaitu dengan cara digantungkan pada pinggang sebelah kiri dengan menggunakan sabuk atau tali pengikat yang diikatkan ke pinggang. Yang dibawa dengan cara disoren ini, Kujang Galabag (berbadan lebar) seperti Kujang Naga dan Kujang Badak sebab kowaknya (sarungnya) cukup lebar.
Ditogel; yaitu dengan cara diselipkan pada sabukdi depan perut tanpa menggunakan tali pengikat. Kujang yang dibawa dengan cara ini yaitu Kujang Bangking (kujang berbadan kecil) seperti Kujang Ciung, Kujang Kuntul, Kujang Bangkong, Kujang Jago, Kudi yang ukuran kowaknya pun lebih kecil. Demikian pula kujang yang termasuk “Kujang Ageman” (bertuah) selalu dibawa dengan cara ditogel.
Dipundak; yaitu dengan cara dipikul tangkainya yang panjang, seperti membawa tombak. Yang dibawa dengan cara demikian hanya khusus Kujang Pangarak, karena memiliki tangkai panjang.
Dijinjing; yaitu dengan cara ditenteng, dipegang tangkainya. Kujang yang dibawa dengan cara ini hanya Kujang pamangkas, sebab kujang ini tidak memakai sarung (kowak) alias telanjang.
Cara Menggunakan Kujang
Tersebar berita, bahwa cara menggunakan kujang konon dengan cara dijepit ekornya (paksi-nya) yang telanjang tanpa “ganja” (tangkai) menggunakan ibu jari kaki. Sedangkan cara lain, yaitu dengan dijepit menggunakan telunjuk dan ibu jari kemudian ditusuk-tusukan ke badan lawan. Alasan mengapa cara menggunakannya demikian, sebab katanya kujang memang berupa senjata “telanjang” tanpa tangkai dan tanpa sarung (kowak).
Jika para Guru Teupa penempa Kujang Pajajaran sengaja membuatnya demikian, hal itu merupakan pekerjaan tanpa perhitungan. Sebab dilihat dari bentuk ekor (paksi) kujang yang banyak ditemukan, bentuknya sama seperti ekor senjata tajam lainnya yang lazim memakai gagang (tangkai) seperti golok, arit, pisau, dsb. Dengan cara menggunakannya seperti diutarakan tadi, sedikitnya ia akan terluka jari jemari kakinya ataupun jari jemari tangannya. Lain halnya jika bentuk ekornya tadi dibuat sedemikian rupa sehingga mudah untuk dijepit dengan jari jemarinya.
Berita tadi jika dibandingkan dengan berita Pantun Bogor dan beberapa temuan penulis, ternyata bertabrakan. Sebagaimana diutarakan pada bagian terdahulu, bahwa Kujang Pajajaran merupakan benda tajam yang lengkap memakai ganja (tangkai) dan memakai kowak (sarung). Kalau timbulnya pendapat seperti tadi, hal ini mungkinberanjak dari temuan-temuan yang tergali dari dalam tanah, mayoritas kujang telanjang tanpa ganja tanpa kowak bahkan tanpa mata (berlubang-lubang).
Sebenarnya, keberadaan kujang yang ditemukan seperti itu akibat dari terlalu lamanya tertimbun tanah, sehingga ganja atau kowak-nya yang terbuat dari kayu mengalami lapuk dan hancur. Sedangkan jarang ditemukan kujang yang masih lengkap dengan matanya, inipun mungkin saja setiap penemu kujang tadi mencungkilnya, sebab kebanyakan mata kujang terbuat dari emas, batu permata yang indah-indah, dan cukup mahal harganya. Kujang yang masih lengkap dengan matanya, kini masih bisa dilihat di Museum Geusan Ulun Kabupaten Sumedang.
Pada bagian-bagian terdahulu diutarakan, bahwa kujang memiliki fungsi sebagai pusaka, pakarang, pangarak, pamangkas.
Sebagai pusaka; tuah/daya kesaktian kujang mengandung nilai sakral. Melalui kekuatan daya gaib/kesaktian tersebut kujang digunakan sebagai pelindung keselamatan diri, keluarga, bahkan masyarakat sekelilingnya, demi terhindar dari marabahaya yang mengancam.
Sebagai pakarang (senjata); kujang dengan ukurannya yang relatif pendek, tidak termasuk alat tebas, tapi tergolong alat tikam, alat tusuk, alat toreh, dan alatkerat. Wujud senjata ini (secara hipotesis), mungkin disesuaikan dengan karakter manusia Sunda Pajajaran itu sendiri yang bersifat defensif tatkala menghadapi marabahaya, tidak bersifat ofensif. Hal ini terungkap dari kisah “Pakujajar Majajaran” yang memberitakan bahwa “Sunda Pajajaran lain mudu pinter perang, tapi mudu pinter diperangan” (Sunda Pajajaran bukan mesti pandai berperang, tapi mesti pandai di kala diperangi). Pernyataan ini terbukti pula, bahwa dalam seluruh cerita pantun, tidak ada satu pun kisah yang memberitakan Kerajaan Pajajaran menyerang atau menaklukan kerajaan lain, kecuali malah digempur negara lain. Mengingat karakter Sunda Pajajaran yang defensif tadi, kujang dengan fungsinya sebagai senjata, bukan hanya untuk menyerang tetapi hanya untuk “bela diri” di kala keadaan susah sangat terdesak. Dalam cara pembelaan diri tersebut, kujang digunakan dengan sekali tusuk ke perut, ketika ditarik mampu merobek-robek seisi perut. Atau dengan sekali toreh dan sekali kerat saja musuh bisa langsung sekarat mendadak dan mati.
Sebagai pangarak (alat upacara); Kujang Pangarak dalam kegiatan upacara menggunakannya dengan dipikul pada satu prosesi tertentu, oleh pelaku barisan terdepan. Dalam keadaan mendesak, kujang semacam ini bisa digunakan sebagai alat membela diri dengan cara ditusukkan atau dilemparkan kepada musuh dari jarak agak jauh, sebab kujang ini bertangkai panjang semacam tombak.
Sebagai pamangkas (alat pertanian); kujang untuk kegiatan ini yaitu Kujang Pamangkas, menggunakannya untuk menebangi pepohonan dalam rangka membuka lahan “huma” (ladang). Sampai dewasa ini kujang semacam ini masih digunakan di lingkungan masyarakat “Urang Kanékés” (Baduy) dan masyarakat “Pancer Pangawinan”. Dalam keadaan darurat, kujang ini pun bisa saja digunakan sebagai senjata untuk bela diri jika satu saat si pemakai mendapat serangan dari fihak musuh, dengan cara ditebaskan atau dibacokkan, karena bentuk kujang semacam ini berukuran agak panjang dan agak besar.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Pantun Bogor memberitakan, bahwa zaman jayanya Kerajaan Pajajaran, kujang berupa perkakas yang multiguna.
Kujang dalam kapasitas dan fungsinya sebagai alat pertanian (Kujang Pamangkas), kini masih dipergunakan di lingkungan masyarakat adat “Urang Kanekes” (Baduy) dan masyarakat “Pancer Pangawinan”.
Kujang peninggalan masa silam yang kini banyak tersimpan banyak dimiliki oleh perorangan mayoritas sudah tidak lengkap, karena bahagian lainnya sudah banyak yang rusak/hilang.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment